Tuesday, June 7, 2016

Hantu itu Berwajah Bapak


“Maula! Maula! Ke mana saja kamu? Mana rokok Bapak?”
“Sebentar, Pak. Maula mau pipis dulu. Sudah kebelet.”
Aku sambil lari ke kamar mandi. Bapak di ruang tamu kongkow dan bersanding dengan segelas kopi hitam. Kopi luak yang saya buatkan sebelum aku ke warung membelikan jarum filter kesukaan bapak. Sesaji wajib buat pagi hari bapak sebelum berangkat ke Sekolah.
Bapak adalah seorang tukang kebun sekolah. Hari ini sebenarnya libur sekolah. Namun bapak harus tetap berangkat. Bapak harus mengecat sekolah karena besok ada akreditasi di sekolah tempat bapak bekerja. Jadi sebelum bapak pergi bekerja, bapak memintaku membelikan rokok sebagai bekal kerja sehariannya.
“Kamu bersihkan rumah, ya. Bapak mungkin pulang sore.”
“Iya, Pak. Bapak mau Maula masakkan apa? Nanti Ibu pulang, nggak?”
“Kamu beli saja ke warung. Nanti bapak makan di sekolah saja. Oh ya, sore harinya nanti bapak belikan ayam panggang kesukaanmu. Tadi ibu telpon kalau hari ini tidak pulang.”
“Yaaaah. Ibu sibuk ya, Pak?”
“Sudah, kamu cepet mandi sana. Bapak pergi dulu, ya. Hati-hati di rumah.”
Aku mencium tangan bapak. Bapak kemudian meraih topi warna abu-abu yang terletak di meja. Bapak memakai topi itu dan bergegas ke motor matic yang baru saja lunas kredit. Tiba-tiba, aku pengen pipis lagi.
Sebelum kembali ke kamar mandi, aku mengambil handuk dan perlengkapan mandiku. Aku bergegas ke kamar mandi. Di rumah hanya aku seorang diri. Aku anak tunggal. Sejak kecil, aku biasa hidup mandiri. Kedua orang tuaku sibuk bekerja. Bapak yang hanya lulusan sekolah menengah pertama, bekerja sebagai tukang kebun di SD kecamatan. Sementara Ibu, alhamdulillah menjadi guru di SMP. Namun Ibu mengajar di sekolah yang cukup jauh jaraknya. Sekitar enam kilo dari rumah. Oleh karena itu, Ibu lebih memilih menginap di rumah Mbah karena dekat dari sekolah.
Paling-paling, Ibu pulang dua hari seminggu. Hanya sebatas mencucikan bajuku dan baju Bapak. Kalau ada waktu luang, Ibu menanyakan PR-ku. Meskipun ibu tidak selalu membantuku dalam membuat PR ataupun tugas-tugas sekolah. Ibu lebih banyak memintaku untuk membantunya menulis nama-nama siswanya. Atau, memberikan tanda centang dan silang di presensi kelasnya.
Aku membuka celanaku sembari mengisi bak mandi. Segera aku jongkok karena aku pengen pipis lagi. Setelah terasa lega, aku kembali berdiri. Meraih gayung dan membersihkan bekas buang air kecilku. Kemudian kubuka baju dan pakaian dalamku. Tiba-tiba aku ingat kalau sekarang aku tengah di rumah seorang diri. Aku kembali memakai pakaian dalamku. Ada rasa takut yang diam-diam hinggap di pikiraku. Was-was, kalau saja ada orang yang mengintipku mandi. Air dingin dan segar mengalir membasahi tubuhku.
“Aduh!”

.......................

“Ingat, ya anak-anak. Untuk mengerjakan soal dengan model kurung, kerjakan dulu angka yang ada di dalam kurung. Kemudian bagian berikutnya. Bisa?”
“Bu, minta izin ke belakang.” Aku mendekati bu Sofi yang berdiri di dekat papan tulis.
“Ya, silakan, Maula.”
Aku bergegas ke kamar mandi sekolah. Di lapangan, ada anak-anak kelas lima yang sedang berolah raga. Mereka sedang asyik bermain sepak bola. Satu bola yang ditendang ke sana kemari juga menjadi rebutan sekian anak-anak itu. Ada satu anak yang berteriak ke arahku.
“Maula, ditunggu Andre.”
“Hahahahahahahahahha.” Beberapa anak lainnya mengikutinya dengan tawa.
Aku tidak peduli. Andre adalah kakak kelasku yang sering disebut-sebut sebagai pacarku. Padahal aku tidak pernah memedulikannya. Sambil mendiamkan ocehan dan tawa mereka, aku percepat langkah ke arah kamar mandi. Aku sudah tidak tahan. Tapi sesampainya di kamar mandi, ternyata ada seseorang di dalamnya.
Aku mengetuk pintu itu agar seseorang di dalamnya segera keluar. Sambil kuteriaki kalau aku sudah tidak tahan. Maklum, di SD-ku hanya memiliki satu kamar mandi untuk siswa. Oleh sebab itu jika ada beberapa siswa yang hendak buang air harus mengantri terlebih dahulu. Setelah menunggu beberapa detik, pintu itu terbuka. Andre.
“Maula?”
Dia tersenyum kepadaku. Cakep. Tapi aku tidak pedulikan itu. Aku langsung masuk ke dalam kamar mandi. Segera kukunci pintunya. Tapi, kunci kamar mandi di sekolahku tidak berfungsi. Sudahlah. Akhirnya, kuberi ember di balik pintu agar tidak mudah terbuka. Seketika aku jongkok dan kubuka sedikit celana dalamku.
“Maula. Aku tunggu di luar, biar tidak ada anak-anak yang ngintip kamu.”
“Ada yang ngintip?” Dalam hatiku. Jantungku berhenti.

.......................
Bapak memandikanku sore ini. Bapak bilang, kalau aku mandi sendiri pasti masih kotor. Hari ini ibu tidak pulang lagi. Ibu tidur di rumah mbah karena besok ada upacara. Jadi, Ibu tidak boleh terlambat. Bapak membukakan pakaianku cepat-cepat. Sambil membuka pakaianku, bapak menciumiku.
“Anak bapak makin cantik ya. Tapi kok kecut.” Aku tertawa.
“Aduh bapak. Geli. Hehehe.”
“Mana yang geli? Icik icik icik. Anak bapak yang cantik. Nurut ya jadi anak cewek.”
“Bapak. Geli. Hehehe. Bapak, Maula pengen pipis.”
“Mau pipis? He.em? Pipisa sayang?”
“Bapak, geli. Maula nggak bisa pipis. Jangan dipegang.”
“Lho justru kalau geli malah langsung pipis dong. Sini-sini, pipis.”
“Ah Maula ngompol. Bapak, geli, Pak. Udah hehehehe.”
“Tuh kan pipisnya banyak. Gantian bapak yang pipis ya. Maula gantian bukain pakaian Bapak dong. Kan tadi Bapak bukaian pakaian Maula.”
“Nggak bisa. Hehehe. Ini aja yah.”
“Iya, ayo bukain celana bapak. Nanti gantian deh biar bapak nggak bisa pipis.”
“Beneran yah. Ayoo gantian bapak nggak bisa pipis. Geli yah?”
“Ah geli sayang. Aduh. Bapak pengen pipis, tapi geli.”
“Rasain! Tadi Maula juga pengen pipis nggak bisa. Gantian biar bapak geli. Hahahaha.”
“Sayang, tuh loh makin besar. Soalnya pipisnya nggak bisa keluar. Aduh geli sayang.”
“Rasain. Burungnya bapak makin besar. Weeekk bapak nggak bisa pipis weeekkk!”
“Sayang, Ma ... uu...ah“
“Yah bapak pipis. Kok kentel Pak?”
Bapak kemudian memelukku erat-erat. Badan bapak hangat. Aku diam di dekapan Bapak. Bapak baru saja pipis. Tapi air pipis bapak berbeda dengan air pipisku. Aku coba raba-raba bagian tubuh bapak yang lain agar geli. Tapi bapak sudah tidak geli. Ah tidak seru. Kami kemudian mandi bersama. Bapak tidak jadi memandikanku. Ternyata, aku disuruh pakai sabun sendiri. Bapak curang.
Malam harinya, seusai makan malam, bapak menemaniku mengerjakan PR. Bapak mengajakku mengerjakan PR di ruang keluarga. Bapak bilang, kami bisa mengerjakan PR sambil nonton VCD yang baru bapak beli. Bapak kemudian menghidupkan VCD player. Lalu memasukkan CD bari itu.
“Film apa, pak? India ya?”
“Bukan. Itu video olah raga. Biar kita sehat, kita harus ikut olah raga itu. Maula juga harus olah raga itu biar cepet gede. Biar cepat jadi model.”
“Wah, jadi model? Waaah mau mau mau .. Maula mau jadi artis. Maula kan cantik.”
“Iya, coba lihat. Mbak-mbak di film itu cantik-cantik, kan? Ayo olah raga. Bapak temenin yah. Nanti bapak jadi mas-mas di sana biar Maula ada teman olah raganya.”
“Iya, kok olah raganya buka baju, Pak?”
“Kan biar keringatnya keluar banyak.”
Aku kemudian mencium Bapak. Aku gigit-gigit bibir bapak. Bapak juga menarik-tarik lidahku dengan bibir bapak. Aku ikuti suara di video itu. “ah ah ah em em em”. Itu semacam hitungan senam satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan. Kata bapak sambil ngos-ngosan. Badan bapak hangat. Aku suka.
“Bapak geli.”
Bapak memainkan dua titik coklat di dadaku. Rasanya sedikit keras. Meskipun tidak ada air dan bentuknya tidak segemuk punya Ibu. Bapak membuatku geli. Tapi aku lihat bapak ikut gerakan olah raga itu. Jadi, aku juga ikuti model perempuannya. Aku memainkan rambut bapak persis dengan yang dilakukan model di video itu.
“Sih sih yes gat no!”
Bapak makin ke bawah. Bapak mulai menciumi merutku, pusarku, hingga tempat pipisku. Bapak ternyata masih ikut gerakan olah raga itu. Olah raga itu agak menjijikkan. Tapi sepertinya memang itu yang membuat perempuan dalam video itu makin cantik. Aku ikut tersenyum dan menghitung “sih sih yes gat no” seperti yang dilakukan perempuan itu.
“Bapak, Maula pengen pipis.”
Bapak hanya diam, karena mas-mas di video itu juga diam. Aku yang salah. Seharusnya aku tidak bilang kalau aku pengen pipis. Perempuan di video itu juga mungkin sedang menahan pipis. Tapi dia tidak bilang. Dia hanya menggoyang-goyangkan pinggulnya. Selanjutnya, mas-mas itu memasukkan jari tengahnya di tempat pipis perempuan itu. Aku merasa perih.
“Bapak, sa.....”
“Ssssstttt!”
Olah raga itu tak kunjung selesai. Aku sudah capek. Tempat kencingku sudah perih. Dari pengen kencing, jadi sakit sekali. Jari tengah bapak masih bergoyang-goyang di dalamnya. Dalam video, perempuan itu berteriak makin kencang. Tapi aku tidak bisa menirukan hitungannya. Ternyata di olah raga ini tidak ada hitungan satu dua tiga. Hitungannya bermacam-macam.
“Ibu.. sakit.”
Bapak langsung meraih bibirku dengan bibirnya. Bau tembakau. Bapak memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku pengen muntah. Tapi rasa perih lebih mengalihkan perhatianku ketimbang ini. Bapak, hentikan ini. Maula lelah dengan olah raga ini. Tadi kita lupa pemanasan. Mungkin bapak lupa melihat sesi pemanasan di video itu.
“Bapak, itu sudah ganti gerakannya.”
Bapak sadar. Sebelum mengeluarkan jarinya, bapak mempercepat gerakannya. Rasanya nyeri sekali. Kemudian bapak meniru gerakan mas-mas itu. Aku ditidurkan di lantai. Lalu bapak menaruh burungnya di hadapanku. Aku langsung tahu tugasku. Aku ikuti perempuan itu memegang dan menggoyang-goyangkan burung. Burung bapak tidak sebesar burung mas-mas itu. Tapi burung bapak banyak bulunya.
Perempuan itu mengulum burung yang dipegangnya, seolah eskrim. Aku mengikutinya. Tapi rasanya tidak enak. Aku mau muntah. Bapak kemudian memintaku melepaskan burungnya. Mungkin bapak merasa nyeri seperti aku tadi. Ah, lagi-lagi bapak curang. Tadi kenapa aku tidak dilepaskan?
“Ini gerakan olah raga terakhir. Namanya, burung masuk kandang.”
Bapak mengikuti mas-mas itu memasukkan burungnya ke tempat pipisku. Tapi tidak kunjung berhasil. Padahal, mas-mas dalam video itu langsung berhasil dan mereka berdua bergoyang asyik. “Ayo, pak. Tapi sakit. pelan-pelan.” Bapak tetap mencoba. Bapak membuka lebar-lebar kakiku. Aku main sakit. Ternyata dari tadi aku pipis darah. Aku baru menyadarinya. Aku takut dan menangis.
“Bapak, aku pipis darah.”
Bapak tidak peduli. Aku makin sakit dan menangis sejadi-jadinya. Tapi bapak tetap tidak peduli. Bapak tetap memasukkan burungnya meskipun sang kandang tidak muat. Aku merasakan kepala burung bapak mulai masuk. Tapi tidak seutuhnya burung itu masuk kandang. Aku mencoba melawan, tapi tidak mampu. Tiba-tiba, burung bapak muntah. Aku merasakan perih terkena muntahan burung bapak yang hangat itu. Bapak pipis di tempat pipisku. Burung bapak seketika mengecil. Bapak langsung tidur.

.....

“Maula, kamu kenapa? Apa yang berdarah?”
“Jangan. Jangan lagi. Aku capek olah raga, Pak. Aku capek olah raga tiap malam. Aku mau bikin PR saja. Aku nggak mau jadi model.”
“Maula? Keluar. Kamu kenapa, Nak?”
“Sakit, pak. Perih. Tempat kencing maula berdarah terus saat olah raga. Maula nggak mau olah raga lagi.”
“Maula, ini bu sofi. Buka, nak. Kamu kenapa?”
“Maula. Maula. Maula.”
Aku seketika sadar. Aku di dalam kamar mandi sedari tadi. Aku ditunggu banyak orang di luar. Ada Andre, bu Sofi, bu Intan, bu Putri. Suara siapa lagi itu? Aku pipis darah lagi. Aku mendengar pintu itu terpaksa didorong. Pintu itu terbuka saat aku belum memakai celana dalamku dengan tepat.
“Jangan, pak! Jangan!” Semuanya sunyi dan gelap.


07 Juni 2016
Indonesia darurat kejahatan seksual

EW




Thursday, October 16, 2014

GELIAT SASTRA DI SEKOLAH BERBASIS PESANTREN DAN KEDUDUKAN STRATEGIS TEORI SASTRA DALAM MENJAGA EKSISTENSI KESUSASTRAAN INDONESIA


Eko Widianto*
0202514048

Ilmu sastra menjadi kajian yang cukup kontroversial di sekolah. Mengapa kontroversial? Sebab sebagian mengaggap bahwa sastra itu menarik untuk didalami. Sementara sebagian menganggap bahwa sastra tidak cukup penting sebagai bekal kehidupan dan masa depan. Siswa cenderung terbagi ke dalam dua kelompok tersebut. Bahkan, di sekolah saya mengajar, kelompok yang menganggap bahwa sastra itu kurang menarik untuk dikaji lebih banyak dari pada pecinta sastra. Ada beberapa penyebab itu terjadi. Mulai dari guru bahasa Indonesia sebagai penginspirasi kesusastraan, sampai dengan hasrat diri siswa yang memang belum termunculkan.
Penyebab pertama mengapa sastra kurang memiliki geliat di sekolah bernuansa pesantren muncul dari guru sebagai inspirator, sekaligus motivator yang memiliki kewajiban moral dalam menyiapkan sastrawan-sastrawan masa depan Indonesia. Guru bahasa Indonesia yang seharusnya turut menularkan semangat bersastra, justru masih belum memiliki semangat dari dalam dirinya sendiri. Guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut masih berfokus pada pembelajaran bahasa saja. Dengan demikian, pembelajaran sastra di kelas memiliki porsi yang tidak lebih besar dari pada pembelajaran bahasa. Di samping itu, pengalaman bersastra guru juga akan memengaruhi nuansa pembelajaran bahasa dan sastra di kelas. Semakin banyak pengalaman sastra yang dimiliki oleh guru, semakin hangat dan hidup pula nuansa sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Namun, semakin minim pengalaman yang dimiliki oleh guru dalam bersastra, semakin sedikit pula efek cinta sastra yang muncul dalam pembelajaran di kelas.
Selain lebih banyak berfokus pada pembelajaran bahasa dan kurangnya pengalaman guru dalam bersastra, guru juga tidak banyak memberikan motivasi dan pemahaman bahwa prospek sastra sangat baik untuk masa depan. Pola pikir yang menganggap bahwa sastra itu kolot, kotor, urakan, gondrong, perokok, peminum, brutal, dan lain sebagainya, masih selalu melintas di dalam pikiran orang-orang. Termasuk guru yang sadar ataupun tidak, masih menyangsikan bahwa sastra punya masa depan. Bagi banyak orang, sastrawan tidak memiliki kemapanan di masa depan. Prospek hidup sastrawan tidak akan jelas. Dengan kata yang sederhana, “sastrawan tidak akan bisa kaya!”. Padahal, jika kita mau meng-expose orang-orang yang sukses besar di dunia sastra, bukan tidak mungkin siswa di sekolah akan sangat terinspirasi dan termotivasi untuk mendalami bidang ini. Dunia sastra memiliki prospek yang sangat baik jika dikaitkan dengan ekonomi kreatif. Siswa adalah penerus Andrea Hirata, Dewi Lestari, Ayu Utami, Donny Dhirgantoro, Raditya Dika, Ahmad Fuadi, bahkan sekelas sastrawan adiluhung Pramoedya Ananta Toer dari Blora. Tokoh-tokoh itu memiliki hidup yang mapan dalam ekonomi dan terkenal di masyarakat dunia.
Sekolah yang mewajibkan siswa tinggal di pesantren (asrama) memiliki banyak sekali kegiatan ekstra di luar kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut disesuaikan dengan nuansa sekolah. Sekolah yang memiliki pesantren sebagai tempat tinggal siswanya, akan banyak memprogramkan kegiatan mengaji kitab-kitab salaf dan ilmu agama. Sementara kegiatan ekstrakurikuler lain yang melatih soft skill siswa tidak memiliki porsi yang lebih banyak. Hal ini kemudian berdampak pada geliat sastra di sekolah. Kesempatan siswa merasakan pengalaman bersastra akan sangat sedikit. Padahal, belajar sastra tidak hanya berhenti pada imajinasi dan pikiran. Belajar sastra, justru belajar beraksi, belajar mengolah rasa menjadi tindakan yang mengekspresikan perasaan itu. Kegiatan ini membutuhkan waktu dan kesempatan yang luas.
Beberapa penyebab tersebut, kemudian memiliki dampak yang berbanding lurus terhadap  minat bersastra siswa. Siswa tidak mendapatkan semangat, motivasi, sekaligus inspirasi dari guru dalam mencintai sastra. Selain itu, siswa juga tidak pernah berpikir lebih jauh mengenai prospek sastra kedepan. Siswa cenderung meng-amini pola pikir yang lama terkungkung bahwa sastra tidak akan membawa masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, simpulan dari setiap pikiran siswa adalah “sastra tidak menarik dan tidak penting!”. Padahal, tentu secara teoretis kita tahu bahwa Horrace mengatakan bahwa sastra itu Dulce et utille yang berarti indah dan berguna.
Kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren juga membuat energi siswa cukup terkuras. Kegiatan ekstra (dalam hal ini selain sastra) yang cukup padat membuat ruang gerak siswa bersastra semakin terhimpit. Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menciptakan pengalaman, minimal berlatih vokal dan membaca puisi di luar kegiatan pembelajaran. Selain itu, keterampilan menulis siswa yang masih dalam kategori rendah juga semakin menenggelamkan kesempatan mengekspresikan perasaan mereka ke dalam bentuk karya sastra. Padahal, jika mereka dibimbing dan diberi semangat tinggi, kesempatan menjadikan mereka sastrawan masa depan sangat terbuka lebar.
Itulah beberapa problematika pembelajaran sastra di sekolah berbasis pondok pesantren. Pembelajaran sastra tidak banyak diberikan ruang gerak untuk berkembang. Bahkan, sekadar bernapas pun tidak ada ruang. Beberapa permasalahan tersebut seharusnya menjadi introspeksi setiap orang yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Khususnya mereka yang secara profesional memiliki disiplin ilmu pendidikan bahasa dan sastra. Sebab, perlu ada tindakan nyata untuk menjaga kesusastraan Indonesia agar tetap berada pada jalur eksistensinya.
Harapan itu tentu muncul dari pembelajaran teori sastra di perguruan tinggi. Secara khusus, tentu perguruan tinggi yang mencetak sarjana maupun magister kependidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sebab, lulusan dari perguruan tinggi itulah yang secara memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesusastraan Indonesia tetap eksis. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang selalu menjadi harapan dalam kajian teori sastra dalam perkuliahan di perguruan tinggi. Harapan-harapan tersebut secara eksplisit adalah sebagai berikut.
Pertama, perkuliahan teori sastra seharusnya tidak berhenti pada pembahasan teori-teori kesusastraan. Akan tetapi, teori-teori tersebut dikaitkan dengan fakta empiris yang terjadi di lapangan. Perkuliahan tersebut harus mampu merumuskan jawaban atas masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Baik pergolakan sastra di kalangan sastrawan, maupun eksistensi sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian, pengkajian teori-teori sastra di perkuliahan dapat berguna secara langsung untuk eksistensi kesusastraan Indonesia.
Kedua, perkuliahan teori sastra dapat memberikan inspirasi besar bagi mahasiswa. Dengan inspirasi itu, mahasiswa akan menularkan semangat bersastra di lingkungannya. Terutama ketika sebagian mahasiswa kembali ke dunia pendidikan. Mereka tidak buta dengan kajian sastra sebagai ilmu. Jadi, tidak hanya pengetahuan sastra sebagai karya saja yang mereka miliki, tetapi mereka juga tahu bahwa sastra dapat dikaji sebagai ilmu yang meliputi teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Demikian permasalahan sastra yang muncul di lapangan dan relevansinya dengan perkuliahan teori sastra di perguruan tinggi. Dua hal tersebut serupa sisi mata uang, menyatu tapi tidak berada pada posisi yang sama. Akan tetapi, kedua hal tersebut saling berhubungan dan membutuhkan. Dengan belajar teori sastra, mahasiswa yang akan terjun ke dunia pendidikan menjadi lebih siap untuk menularkan semangat bersastra. Minimal, mereka tahu dua sisi sastra baik sebagai disiplin ilmu, maupun berupa karya yang memiliki keindahan.

*) Penulis adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X SMK Roudlotul Mubtadiin Balekambang Jepara, sekaligus mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Unnes tahun 2014.

“MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY” (Peran Pendidik dalam Mempersiapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN) Eko Widianto*)


“ Tanaman terolah karena petani, dan manusia diubah oleh pendidikan. Kita terlahir lemah, maka kita butuh kekuatan; kita terlahir dalam keadaan takberpunya, maka kita butuh pertolongan; kita terlahir bodoh, maka kita butuh pemikiran. Segala yang tak kita miliki saat lahir dan yang kita butuhkan demi perkembangan diri, kita peroleh melalui pendidikan.”
(Roasseau dalam Wesfix, 2013)

Asean Economic Community
Tahun 2015 merupakan momen penting dalam dunia ekonomi negara-negara Asia Tenggara. Sebab, para pemimpin negara-negara ASEAN telah bersepakat bersama untuk pencapaian ASEAN Community yang dimulai dengan penerapan ASEAN Economic Community pada 2015 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-19 di Bali, 17 November 2011 lalu. ASEAN akan menjadi satu masyarakat ekonomi yang tergabung dalam ASEAN Economic Community (AEC) atau disebut juga “Masyarakat Ekonomi ASEAN“ pada tahun 2015.
Berdasarkan AEC Blueprint, ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015 merupakan suatu program bagi negara-negara ASEAN untuk lebih meningkatkan kualitas ekonomi khususnya perdagangan. AEC Blueprint adalah arahan atau acuan perwujudan AEC 2015 kelak. Dalam penerapannya pada tahun 2015, AEC/MEA   akan menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus bebas tenaga kerja terampil) untuk perawatan kesehatan (health care), turisme (tourism), jasa logistik (logistic services), e-ASEAN, jasa angkutan udara (air travel transport), produk berbasis agro (agrobased products), barang-barang elektronik (electronics), perikanan (fisheries), produk berbasis karet (rubber based products), tekstil dan pakaian (textiles and apparels), otomotif (automotive), dan produk berbasis kayu (wood based products).
Perusahaan mempunyai kebebasan untuk memilih lokasi pendirian pabrik dan kantor perusahaan di kawasan ASEAN. Peluang Indonesia untuk bersaing dalam  AEC/MEA  2015 cukup besar. Hal ini didukung oleh peringkat Indonesia pada ranking 16 dunia untuk besarnya skala ekonomi dengan 108 juta penduduk sebagai kelompok menengah yang sedang tumbuh, sehingga berpotensi sebagai pembeli barang-barang impor (sekitar 43 juta penduduk). Kemudian perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia. Selanjutnya adalah masuknya Indonesia sebagai peringkat empat prospective destinations berdasarkan UNCTAD World Investment Report.
Tantangan Pendidik dan Pendidikan dalam Menyongsong AEC
Guru sebagai pendidik memiliki posisi strategis dalam membangun sebuah peradaban. Tentu melalui sektor pendidikan. Sebab, peradaban terbangun mulai dari pendidikan. Pendidikan yang maju akan turut memajukan sebuah negara. Begitu pula sebuah negara dengan pendidikan yang minim, dapat diprediksi bahwa kekuatan negara tersebut dalam mengikuti persaingan global tidak akan kompetitif. Dengan spekulasi lain, negara tersebut justru hanya bisa jadi penonton dalam persaingan global negara-negara maju di dunia.
Melihat kenyataan persaingan bangsa-bangsa yang semakin maju, Indonesia perlu berbenah dan bersiap untuk menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika tidak ingin kalah di negeri sendiri, segenap masyarakat perlu mempersiapkan diri dalam menyambut gemerlap dunia ekonomi tersebut. Hal paling penting adalah menyiapkan generasi muda –dalam hal ini, peserta didik-- untuk menghadapi kenyataan itu. Pendidikan juga memiliki tanggung jawab besar dalam mempersiapkan generasi-generasi berdaya saing tinggi untuk menyongsong gemerlap ekonomi di ASEAN. Dengan kata lain, guru mempunyai peran penting dalam mempersiapkan generasi muda yang siap menyongsong ASEAN Economic Community. Setidaknya, ada beberapa hal yang perlu dimiliki oleh generasi muda Indonesia dalam turut serta di ekonomi global tingkat ASEAN tersebut.
Ekonomi Kreatif dan Jiwa Wirausaha sebagai Muatan Pembelajaran
“ Jika tidak ingin menjadi pelayan, maka jadilah juragan”. Tanpa jiwa wirausaha yang memadai, bagaimana mungkin kita bisa menjadi juragan. Pendidik harus sadar betul kebutuhan dasar Indonesia dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kita tidak mungkin lagi mengharapkan lapangan pekerjaan dalam percaturan ekonomi global. Sebab, semakin besar harapan kita pada sebuah lapangan pekerjaan, itu berarti semakin kerdil pula mental kita sebagai pemimpin dalam kesempatan tersebut. Oleh sebab itu, membekali peserta didik jiwa usaha dan mengenalkan mereka pada ekonomi kreatif menjadi sangat penting. Dengan bekal tersebut, pendidikan tidak sekadar mengantarkan mereka pada taraf turut memeriahkan tetapi turut memimpin Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pendidikan tidak sekadar mengarahkan peserta didik pada learning to do, tetapi juga learning to live together.
Komunikasi dan Etika Hubungan Internasional Ditingkatkan
Tokoh pendidikan sekaligus filsuf, Confusius dalam Wesfix (2013:6-7) lebih menekankan moral daripada pengetahuan dalam sebuah pendidikan. Ia lebih memerhatikan moral dibandingkan dengan pengetahuan. Ia sangat percaya bahwa dengan menata perilaku untuk saling menghormati antarbagian dalam masyarakat, manusia akan jadi lebih baik. Dalam situasi saling hormat menghormati, terciptalah harmoni, sehingga ajaran apapun akan diterima secara mudah.
Komunikasi sangat penting dalam sebuah hubungan. Tanpa komunikasi yang terbangun dengan baik, hubungan akan dipenuhi dengan permasalahan. Generasi muda Indonesia, dalam hal ini adalah peserta didik perlu dibekali retorika berkomunikasi dengan baik. Cara berkomunikasi mereka akan menentukan arah keberhasilan bangsa ini. Komunikasi mereka tidak lagi berskala regional atau nasional. Akan tetapi, mereka telah dituntut mumpuni berkomunikasi dengan skala internasional. Oleh sebab itu, tugas pendidik adalah membekali peserta didik kompetensi berkomunikasi yang andal. Dengan retorika komunikasi yang baik, modal pertama telah dimiliki generasi muda Indonesia dalam mengambil peran terpenting pada ekonomi global tingkat Asia Tenggara ini.
Selain retorika dalam berkomunikasi, etika juga sangat penting dimiliki oleh generasi muda. Etika akan menentukan etos kerja generasi kita dalam ekonomi global tersebut. Etos kerja sangat menentukan keberhasilan generasi muda di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Oleh sebab itu, etika hubungan internasional dan etos kerja perlu dipupuk sejak dini melalui dunia pendidikan. Pendidik dapat mengondisikan peserta didiknya pada saat pembelajaran di kelas berlangsung. Hal ini tentu berhubungan dengan kompetensi sikap yang harus dimiliki oleh peserta didik. Dengan mengaitkan standar kompetensi sikap dan kebutuhan bangsa saat ini, tentu praktik pendidikan dan fakta di lapangan akan selaras.
Mental Juara
Karakter menurut Narwanti (2011:27) adalah suatu hal yang unik hanya ada pada diri individual ataupun pada suatu kelompok, bangsa. Karakter itu adalah landasan dari kesadaran budaya, kecerdasan budaya, dan merupakan perekat budaya. Oleh sebab itu sikap peserta didik menjadi konsentrasi baru dalam pembelajaran. Terdapat dua sikap penting yang menjadi keistimewaan pembelajaran dalam kurikulum 2013. Dua sikap tersebut yaitu sikap religius dan sikap sosial.
Kaitannya dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, pendidik perlu menanamkan satu karakter atau mental pada peserta didik. High mentality harus dimiliki setiap anak muda di Indonesia. Dengan memupuk mental juara yang tinggi pada setiap pemuda, Indonesia akan memberi warna, bahkan menjadi good player dalam percaturan ekonomi tingkat Asia Tenggara. Tanpa mental juara yang tinggi, pemuda-pemuda Indonesia tidak akan memiliki motivasi untuk mengembangkan diri. Hal semacam ini akan memicu disorientasi dan kemunduran dalam dunia ekonomi. Sebab, tanpa memiliki mental juara yang kompetitif kita tidak akan mampu mengarungi lautan ekonomi yang begitu luas dan liar.
Pendidik harus peka dengan kebutuhan bangsa saat ini. Terlebih mental apa yang harus dimiliki peserta didik dalam mengahadapi ekonomi global tingkat Asia Tenggara. Pendidik perlu membekali mereka agar siap. --Bukan sekadar siap sebagai peserta, tapi siap sebagai pemimpin di kancah Masyarakat Ekonomi ASEAN--. Memupuk mental kompetitif dan juara menjadi suatu keharusan dalam pembelajaran. Tanpa mental ini, bangsa Indonesia hanya mampu menjadi penonton di rumah sendiri. Padahal, harapan kita pasti sebagai pemimpin dalam kancah ekonomi global tersebut. Oleh sebab itu, guru perlu memupuk dengan baik mental juara pada setiap jiwa peserta didik.

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.

DAFTAR PUSTAKA
Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter.Yogyakarta: Familia.
Artikel hasil KTT ASEAN.

Wesfix, Tim. 2013. Teacher’s Wisdom. Jakarta: Gramedia.

UPAYA PENDIDIKAN DALAM MENGANGKAT POTENSI LOKAL KABUPATEN JEPARA Oleh: Eko Widianto (0202514048)*


            Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN/20/2003) Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sangat penting bagi seseorang. Dengan pendidikan, kehidupan seseorang dapat berkembang. Bekal untuk menjalani hidup adalah pendidikan yang mampu menuntun seseorang ke arah yang baik dan benar.
            Pendidikan juga akan mempengaruhi segala hal dalam kehidupan. Dalam sebuah sistem, pendidikan berhubungan dengan sistem-sistem lain. Pendidikan tidak dapat berdiri sendiri tanpa komponen lain. Begitu pula dengan komponen-komponen kehidupan lainnya yang tidak dapat terlepas secara bebas dari pendidikan. Misalnya, pendidikan tidak akan dapat terlepas dari dunia ekonomi, kebudayaan, dan politik. Demikian pula dengan ekonomi, kebudayaan, dan politik yang tidak bisa terlepas dari pendidikan. Komponen-komponen tersebut memiliki keterkaitan yang saling membangun satu sama lain. Komponen-komponen tersebut menyatu dalam sebuah sistem kehidupan dan melekat pada manusia.
            Komponen-komponen yang menyatu ke dalam sebuah sistem tersebut kemudian saling mempengaruhi. Pendidikan dapat mempengaruhi keadaan perekonomian dan politik di Indonesia. Pendidikan juga terpengaruh dengan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Terbukti ketika semakin banyak semangat pengajar dalam mengangkat kearifan lokal sebagai nuansa atau basis pembelajaran. Pendidikan multikultural juga senantiasa digerakkan sebagai wujud menjaga keberadaan budaya yang begitu beragam di Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa pendidikan tidak akan terlepas dari komponen-komponen lain dalam kehidupan.
            Pendidikan juga memiliki peran penting sebagai pengawal sekaligus pengangkat budaya lokal suatu daerah. Budaya lokal berarti kebudayaan yang secara khas dimiliki oleh suatu daerah dan tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Contohnya adalah Batik di Pekalongan, Tifa di Papua, Songket di Palembang, Ukir di Jepara, dan masih banyak lagi. Keberadaan budaya-budaya tersebut menjadi ciri khas sebuah daerah. Budaya tersebut akan senantiasa terjaga jika dilestarikan. Sebaliknya, kebudayaan tersebut akan punah jika tidak dikonservasi dengan baik. Pendidikan berada pada posisi yang strategis dalam menjaga kebudayaan tersebut. Sebab, melalui pendidikan internalisasi kebudayaan-kebudayaan lokal pada generasi muda dapat berjalan dengan baik.
            Setiap daerah memiliki kekhasan budaya sebagai potensi lokal. Potensi itu kemudian dapat mengangkat nama daerah. Selain itu, potensi lokal daerah dapat menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi suatu daerah. Dengan memiliki potensi yang khas pada daerah, potensi pariwisata daerah tersebut juga akan terangkat. Seperti yang terjadi di Jepara. Dengan budaya ukirnya, Jepara tidak asing lagi di telinga masyarakat. Bahkan turis mancanegara sudah banyak yang tahu tentang Kota Ukir tersebut.
            Jepara tentu memiliki beberapa potensi lokal yang menjadi ciri khas bagi kabupaten tersebut. Selain potensi lautnya yang melimpah, Jepara juga memiliki pesona pariwisata yang memikat wisatawan. Sebab, garis pantai kabupaten Jepara sangat panjang dan memiliki keindahan. Pariwisata bahari menjadi bagian penting dalam potensi daerah Jepara. Karimun Jawa, Pantai Bandengan, Pantai Kartini, Benteng Portugis, dan lainnya, sudah tidak asing di telinga wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
            Tidak hanya di potensi pariwisata, Jepara juga memiliki pesona lain. Pesona itu juga muncul dari Sentra Tenun Troso. Kain tenun Troso sudah banyak dikenali masyarakat. Kain yang unik dan murah ini menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berlibur ke Jepara. Selain membeli kain tersebut sebagai oleh-oleh, wisatawan juga dapat melihat secara langsung pertunjukan pembuatan kain tenun Troso di lokasi pembuatannya. Dengan menyaksikan pertunjukan pembuatan kain tenun, wisatawan tahu proses pembuatan kain tenun tersebut dari proses pertama sampai dengan terciptanya kain yang utuh dan cantik.
            Selain potensi pariwisata dan tenun Troso, yang paling kondang adalah budaya ukir Jepara. Ukir tidak akan lepas dari kabupaten kecil tersebut. Selain sudah menjadi top of mind setiap orang bahwa Jepara adalah Kota Ukir, meubel sudah menjadi industri utama kabupaten tersebut. Mayoritas mata pencaharian penduduk Jepara adalah membuat produk meubel dan ukiran. Ukiran sudah mendarah-daging bagi masyarakat Jepara. Inilah yang kemudian menjadi potensi lokal terbesar kabupaten Jepara. Dengan memiliki potensi yang unik dan prospektif ini, pemerintah perlu mengonservasi dan senantiasa mengembangkannya menuju arah yang lebih baik. Untuk mengembangkannya, tentu salah satu cara dapat ditempuh melalui sektor pendidikan. Ada beberapa hal yang telah muncul dalam pendidikan untuk mengangkat potensi lokal daerah Jepara. Berikut beberapa hal yang telah menjadi napas penggugah potensi lokal Jepara.

Sebagai Muatan atau Basis Pembelajaran di Kelas
            Potensi lokal Jepara kini menjadi muatan atau basis pendidikan di kelas. Artinya, topik-topik pembelajaran di kelas selalu dikaitkan dengan potensi lokal yang ada di Jepara. Terutama mata pelajaran yang memiliki korelasi dengan potensi lokal Jepara. Misalnya, mata pelajaran seni budaya di sekolah menengah atas selalu mengaitkan topik-topik pembelajarannya dengan kebudayaan yang ada di Jepara seperti ukiran dan tenun Troso. Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki kelas produktif Busana Butik juga senantiasa mengembangkan pembelajarannya berbasis potensi lokal Jepara. Contohnya ketika mereka mendesain sebuah pakaian, bahan dasar yang digunakan adalah tenun Troso.
            Tidak hanya mata pelajaran seni budaya yang mencoba mengaitkan konsep pembelajarannya dengan potensi lokal Jepara, mata pelajaran lain pun demikian. Mata pelajaran bahasa Indonesia juga dapat menggabungkan materinya dengan muatan potensi lokal Jepara. Terlebih Kurikulum 2013 dikembangkan dengan pembelajaran berbasis teks. Kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh guru dalam menginternalisasi potensi lokal Jepara dalam pembelajaran. Teks yang dipelajari dapat dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di Jepara.

Discovery Learning, Mengamati dan Merasa Memiliki
            Pembelajaran masa kini senantiasa menuntut peserta didik untuk mengamati, merasakan, dan mengalami. Jadi, wawasan dan pengetahuan yang diterima oleh peserta didik tidak berhenti pada bentuk konseptual di pikiran mereka saja. Tetapi mereka dapat melakukan discovery untuk menemukan referensi-referensi dari konsep yang mereka pelajari. Oleh sebab itu, study tour dan pembelajaran di luar kelas yang mampu menunjang pengetahuan peserta didik menjadi sangat relevan dengan corak pendidikan masa kini. Kaitannya dengan potensi daerah Jepara, pendidikan usia dini di Jepara kini telah banyak yang menyadari pentingnya mengenalkan potensi daerah pada anak-anak usia dini. Banyak PAUD maupun TK yang mengajak peserta didiknya untuk berkunjung ke pengrajin tenun Troso, sentra ukiran Jepara, dan potensi lainnya seperti perikanan serta pariwisata. Dengan mengajak peserta didik ke tempat-tempat potensial yang dimiliki oleh Jepara tersebut, peserta didik akan merasa memiliki dan senantiasa berhasrat untuk menjaga serta melestarikannya.

Tantangan dalam Mengembangkan Pendidikan Berbasis Potensi Jepara
            Sebagian masyarakat telah sadar akan beruntungnya memiliki potensi yang begitu besar di Jepara. Meskipun tidak sedikit pula yang enggan menyadari keberuntungan tersebut. Termasuk Pemerintah Kabupaten Jepara yang tidak secara aktif mengawal dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh kabupaten Jepara tersebut. Di satu sisi, guru-guru sebagai penghela napas pendidikan mencoba dan berjuang mengangkat potensi lokal yang ada di Jepara. Namun di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Jepara juga tidak mengembangkan potensi tersebut secara nyata. Seharusnya sektor pendidikan menjadi amat strategis jika digunakan untuk mengonservasi potensi lokal Jepara. Akan tetapi, kesadaran mengembangkan hal tersebut belum sepenuhnya tampak dari Pemerintah Kabupaten Jepara.
            Selain itu, sekolah tinggi yang terkait dengan potensi lokal Jepara juga sangat minim. Hanya ada satu sekolah tinggi desain di Jepara. Padahal, untuk mengembangkan potensi daerah, terutama budaya perlu sekolah-sekolah tinggi yang mencetak para sarjana di bidangnya. Demikian pula dengan potensi pariwisata dan perikanan, tidak ada sekolah tinggi di Jepara yang bergerak di bidang itu. Hal ini menjadi tantangan secara langsung bagi Pemerintah Kabupaten Jepara, khususnya Dinas Pendidikan. Meskipun, semua masyarakat juga memiliki tanggung jawab moral yang sama-sama besar dalam upaya melestarikan potensi lokal Jepara melalui sektor apapun, khususnya pendidikan.

*)  Penulis adalah mahasiswa Program Studi Bahasa Indonesia Kelas Khusus B Pascasarjana Unnes.

DAFTAR PUSTAKA
Wibowo. 2014. Membangun Ketahanan Sistem Pendidikan Berbasis Potensi Lokal di Daerah Otonom. Semarang. Makalah.

Friday, January 31, 2014

Tepat di atas ubun-ubun hamparan air


Tepat di atas ubun-ubun hamparan air
                        Sajak kerinduan

Menjadi sebuah metafor-metafor
Setiap pagi mulai beranjak siang
Dan sore memilih berlabuh pada malam

Membuang senandung rindu
Milik lelaki yang menunggu di pesisir pantai
Bersama kura-kura kecil yang kehilangan sedikit siriknya

Lalu kau melihat ada absurditas
Di atas awan tanpa batas
Melukiskan rasa tak terungkap
Di lubuk hatimu

Gadis kecil menari dalam lari
Tak hirau kanan kiri
Si bangau memilih bersembunyi
Di balik pohon rindang asri

Rindumu rinduku
Menyatu laksana ombak dengan kakiku
Menyentuh sepersetengah detik
Lalu berkejaran tak menentu
Datang dan pergi
Saling menyambut
Namun kau memilih bermain
Di luas samudra dingin
Lagi dan lagi oh lagi
Mari menyanyikan kidung mesra
Di bawah bias senjakala
Memelukkan rindumu dengan rinduku
Menciumkan mesra laguku dan lagumu

Kata siapa buta itu melingkup rasa
Aku dengan jelas melihat
Ronamu pada semburat senyum
Mentari sore hari
Tepat
Di hadapanku
Dan di atas ubun-ubun hamparan air

Bantaeng, 7 11 13
Eko W
@ekow_oke

Saya, Pengalaman, dan Idealisme

Saya, Pengalaman, dan Idealisme

Saya Eko Widianto. Lelaki yang terlahir pada tanggal 22 Mei 1992 lalu di pesisir pantai utara pulau Jawa, Jepara. Lelaki gemini yang menyukai ombak. Oleh sebab itu saya selalu menuliskan nama pena sebagai Putra Ombak setiap saya menyelesaikan suatu karya. Saya menyukai ombak. Bagi saya, ombak bisa menenangkan kegalauan seseorang. Ombak itu manis. Suaranya begitu romantis. Tapi terkadang juga bisa menjadi sesuatu yang menakutkan. Kemarahannya bisa meluluhlantakkan segala yang diterjang. Ombak itu, bisa mendamaikan sekaligus menggelisahkan. Itu menurut saya.
Beberapa teman menilai saya sebagai sosok yang ambisius, arogan, perfeksionis, dan keras kepala. Saya tidak mau diatur, tapi suka mengatur. Menurut beberapa teman, saya juga idealis dan sulit diberi masukan. Meskipun memang ada yang menilai saya lembut, alay, charm, bijak, santun, dan terkadang pendiam. Siapapun boleh menilai saya sesuai persepsi mereka. Saya pun menyadari jika setiap orang memiliki sisi-sisi hidup dan karakter yang begitu banyak. Begitupun dengan saya yang mendapat hadiah predikat begitu banyak dari teman-teman. Karena manusia itu makhluk adalah unik.
Saya suka nomor satu. Kesukaan saya ini sepertinya memang sedikit mempengaruhi psikologi saya yang tidak suka mengalah. Saya suka menjadi yang pertama. Saya selalu mengejar nomor satu. Sehingga wajar jika beberapa teman beranggapan bahwa saya ambisius dan tidak mau mengalah. Sejak TK sampai dengan Madrasah Aliyah, saya selalu duduk di barisan pertama (terdepan). Bahkan tradisi itu juga saya lanjutkan di bangku kuliah. Meski tidak sekonsisten dulu semasa sekolah.
Meskipun saya suka nomor satu dan ingin selalu menggapai hal-hal yang berbau satu, saya menyadari bahwa saya bukan tipe seseorang yang suka kompetisi. Saya tidak rajin mengikuti lomba. Saya tidak gandrung mengoleksi piala, medali, ataupun sertifikat juara. Hanya Tuhan begitu baik kepada saya. Saya bersyukur karena Tuhan selalu menjebakku untuk masuk dalam lingkaran peringkat teratas di kelas. Mulai dari TK sampai dengan kuliah, prestasi akademik saya boleh dikatakan cukup moncer. Padahal orang terdekat saya pasti tahu bahwa saya tidak suka belajar.
Semasa menjadi siswa Madrasah Ibtidaiyah (SD), saya merupakan siswa urutan teratas di kelas jika guru tengah membaca predikat atau rangking siswa. Di MTs (SMP) saya mulai menjadi remaja yang nakal. Suka ugal-ugalan saat naik motor meskipun postur tubuh saya terlalu kecil sebagai pengendara motor, mulai suka membolos untuk bermain PS di rental, dan hobi jemawa pada cewek-cewek di jalan pada saat naik motor. Semua itu cukup membuat saya tidak terlalu menikmati aktivitas belajar semasa MTs. Meskipun demikian, saya masih harus bersyukur karena saya juga masih berada di urutan atas rangking siswa. Paling merosot, saya hanya jatuh ke peringkat tujuh.
Saat Madrasah Aliyah, saya mulai merenungi dan menyadari kesalahan-kesalahan saya di MTs. Saya mulai sadar ketika salah seorang guru menghukum saya. Saya dihukum karena tidak mengikuti Matasba (sebutan ospek di madrasah kami). Tidak hanya itu, saya tidak ikut sekaligus mengajak banyak teman saya untuk tidak mengikuti acara itu. Waktu itu saya memang provokator bagi teman-teman saya. Sekitar lima orang lebih memilih untuk tidak mengikuti ospek karena terkena hasutan saya. Oleh sebab itu hukuman saya paling berat. Terlebih guru yang memberi hukuman kenal dengan dengan Bapakku. Kiamat sudah ketika vonis mengikuti ospek di tahun berikutnya dijatuhkan. Saya tidak hanya menanggung malu bagi diri saya sendiri. Tapi saya juga amat merasa bersalah pada teman-teman yang terprovokasi waktu itu sehingga mereka juga harus ikut ospek di tahun berikutnya.
Meskipun track record saya cukup suram menjadi seorang siswa baru, tapi karir saya kedepan dapat dikatakan cemerlang di Madrasah Aliyah. Di kelas X saya kembali mendapat peringkat teratas. Saya rajin menulis di majalah sekolah. Itu sebabnya saya seringkali menjadi delegasi sekolah untuk mengikuti pelatihan-pelatihan di instansi lain. Saya mulai meninggalkan teman-teman lama saya yang hanya suka hura-hura. Saya mencoba mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler meskipun awalnya terpaksa. Namun saya berusaha mengikutinya dengan ikhlas dan semangat.
Kelas X saya sudah cukup dekat dengan pengurus Osis di sekolah. Beberapa tulisan saya dimuat dalam majalah sekolah. Majalah sekolah kami adalah majalah terbaik satu provisnsi. Sehingga proses seleksi karya cukup sulit dan ketat waktu itu. Dengan sedikit kemampuan menulis itu, saya bersama teman-teman mencetuskan sebuah Himpunan Penulis di sekolah yang sebelumnya belum ada. Ide itu kemudian terealisasi di tahun berikutnya ketika saya sudah kelas XI. Himpunan Penulis Pelajar Matholi’ul Huda (HIPPMA) terbentuk sebagai wadah berkreasi bagi siswa-siswi sekolah kami.
Walaupun saya dekat dengan pengurus OSIS, itu tidak lantas menghapus status saya sebagai terdakwa buronan Ospek. Saya tetap mengikuti Matasba (Ospek) bersama adik-adik kelas. Akhirnya saya menjadi sorotan utama. Waktu itu saya sangat menyesali kesalahan saya tidak mengikuti Matasba di tahun sebelumnya. Begitu pula dengan beberapa teman saya.
Kejadian itu tidak membuat hubungan saya dengan Pengurus OSIS menjadi buruk. Justru hubungan kami semakin dekat. Bahkan saya dicalonkan sebagai ketua IPNU (waktu itu berganti nama dari OSIS ke IPNU). Meskipun pada akhirnya saya kalah dan mengabdi sebagai Bendahara. Saya memang tidak begitu berhasrat terpilih waktu itu. Saya hanya ingin tetap ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Selain aktif di kepengurusan IPNU, saya juga aktif sebagai pengurus Dewan Ambalan Mangun Sejati (Pramuka). Saya juga tergabung dalam Pasukan Khusus Mangun Sejati. Saya aktif dalam beberapa ekstrakurikuler, tergabung dalam kepengurusan HIPPMA yang baru saja terbentuk, bahkan saya ikut serta dalam kegiatan tingkat kabupaten yaitu DKC CBP (Dewan Koordinasi Cabang Corp Brigade Pembangunan). Semacam organisasi pengabdian masyarakat kepemudaan.
Menjadi seorang aktivis tidak berarti mengabaikan sisi akademik. Saya bukan tipikal orang yang berpikir demikian. Justru saya ingin sukses dalam keduanya. Itu saya buktikan sejak saya mulai terjun ke dunia organisasi di Madrasah Aliyah. Meskipun saya organisatoris, saya tetap bisa meraih rangking satu. Meskipun saya seorang aktivis, saya tetap punya kapabilitas dan kualitas di kelas. Jadi saya tidak menghalalkan seorang aktivis mengabaikan pengetahuan. Saya tidak mengesahkan seorang aktivis lupa jati diri pelajarnya. “ Boleh seorang aktivis sibuk dengan setumpuk kegiatannya, tapi sisihkan sedikit waktu untuk sekadar menikmati segelas teh hangat dan buku”. Pengetahuan adalah bekal kita, sedangkan kegiatan dalam organisasi adalah ladang praktik kita dalam melatih softskill. Jika kita berjalan tanpa pengetahuan, itu berarti kita sedang berjalan menuju jurang. Tapi jika kita simbangkan antara kegiatan dan belajar, tentu kita akan tahu kemana jalan yang membawa kita ke puncak.
Hasrat berorganisasi itu masih kental ketika saya menjadi mahasiswa. Di semester pertama saya mulai tergabung dalam Laboratorium Film Usmar Ismail di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya juga sempat terpilih sebagai wakil ketua dalam organisasi ini. Namun saya mulai kurang aktif dalam organisasi ini ketika saya sudah berkomitmen banyak di Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Berbekal pengalaman satu tahun sebagai staf ahli departemen, saya memberanikan diri untuk melangkah lebih. Pada tahun 2012, saya terpilih menjadi Ketua Hima BSI. Itu yang membuat saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai wakil ketua LFUI waktu itu. Sebab saya berjanji untuk tidak selingkuh dalam organisasi. Saya ingin belajar setia sebagai aktivis. Karena pada waktu yang sama, cinta itu tidak dapat dibagi.
Menjadi Ketua sebuah lembaga kemahasiswaan membuat idealisme saya semakin tinggi. Itu juga banyak mempengaruhi pola pikir saya menjadi sosok yang sistematis dan praktis. Saya mendapat banyak pengalaman dan ilmu dari keluarga besar ini. Teman-teman saya merupakan Sparing Partner saya dalam banyak hal. Dalam pengetahuan organisasi, manajemen, politik, kebahasaan, kesusastraan, kependidikan, kebangsaan, dan lain sebagainya. Saya sangat bersyukur karena dalam hidup saya telah dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti mereka. Pejuang Muda Cinta Indonesia, itu adalah mereka.
Ketika menjadi aktivis kampus, saya juga berusaha kembali membuktikan bahwa aktivis tidak boleh bobrok dalam hal akademis. Saya berusaha seimbang dalam membagi porsi antara organisasi dengan tugas kuliah. Sehingga nilai saya selalu stabil di tengah-tengah kesibukan berorganisasi. Tangkup tangan di dada, tunduk kepala pada Tuhan yang maha esa. Saya selalu berkesempatan menikmati nilai cumlaude setiap yudisium. Bagi saya itu adalah bukti atas pandangan miring terhadap aktvis. Tidak semua aktivis gagal dalam hal akademik.
Saya juga sempat tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII) periode 2012-2014. Oleh karena itu saya pernah menggagas sebuah organisasi tingkat kota Semarang bagi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Bersama organisatoris-organisatoris dari Undip, IKIP PGRI Semarang, Unissula, dan Unnes kami membentuk Sekumpulan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Semarang (Sembarang) pada tahun 2012. Itu adalah pengalaman yang membuat saya semakin menikmati sebuah proses dalam organisasi.
Saya semakin menikmati manisnya organisasi ketika saya terpilih sebagai Ketua Tim Praktik Pengalaman Lapangan di SMA Taruna Nusantara Magelang. Sekolah yang besar dan terkenal. Di sana saya bertemu siswa-siswi dari Sabang sampai Merauke. Tim saya juga merupakan gabungan mahasiswa-mahasiswi pilihan dari setiap jurusan. Sehingga ketika menjadi komandan dalam barisan ini, tentu jauh berbeda dengan pengalaman saya sewaktu berada di organisasi lainnya. Pengalaman ini semakin membentuk pola pikir dan semangat saya untuk melangkah kedepan.
Satu minggu setelah selesai melaksanakan PPL, saya kembali menjadi delegasi. Saya terpilih sebagai delegasi KKN Kebangsaan yang untuk kali pertama diselenggarakan di Sulawesi Selatan. Saya kembali bertemu dengan anak-anak muda se-Indonesia di Makassar (Unhas) saat menerima pembekalan sebelum terjun ke lapangan, tepatnya di Kabupaten Bantaeng Sulsel. Dari lima mahasiswa Unnes yang terpilih sebagai delegasi, saya kembali mendapat amanah sebagai koordinator tim KKN Kebangsaan Unnes. Cukup sulit berhubungan dengan keempat teman seperjuangan saya. Karena kami diterjunkan di lokasi yang berbeda-beda. Kami hanya dapat berkoordinasi ketika ada dialog kebangsaan maupun even yang diselenggarakan di pusat Kabupaten. Pengalaman bertemu dengan mahasiswa se-Indonesia kembali dan mengabdi di pelosok negeri, semakin membangkitkan optimisme serta nasionalisme saya sebagai pemuda sekaligus bangsa Indonesia.
Dari kegiatan KKN Kebangsaan itu saya juga banyak mendapatkan pengalaman mempelajari budaya, baru, dan lingkungan baru. Saya juga belajar memimpin, dipimpin, membaca paradigma teman-teman dari Sabang sampai Merauke, dan masih banyak lagi. Bantaeng adalah keluarga baruku.
Keluarga Mahasiswa Jurusan barangkali menjadi organisasi terakhir yang saya ikuti di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini. Saya menjadi bendahara di KMJ 2013 setelah purnajabatan dari Ketua Hima BSI 2012. Sebab setelah itu saya ingin berkonsentrasi pada tugas akhir strata satu saya. Saya ingin sekali melanjutkan pendidikan ke S-2 setelah lulus dari S-1. Namun pengalaman menjadi pemimpin yang mungkin tidak banyak dimiliki orang lain, justru sebagai seorang Komandan Tingkat (Komting) di kelas. Teman-teman menyebut saya sebagai Komting abadi. Sebab dari semester satu sampai akhir masa perkuliahan saya selalu ditunjuk sebagai Komting. Itu adalah pengalaman yang luar biasa.
Selain berorganisasi, Saya juga suka menjelajah. Saya lahir di Jepara, kecil di ibu kota, tumbuh di Jepara lagi, kuliah di Semarang, dan Saya ingin belajar lagi ke kota-kota lain. Ketika Madrasah Aliyah, saya pernah memiliki cita-cita melanjutkan kuliah di Mesir. Namun karena beberapa hal saya mengurungkan niat itu. Meskipun sebelumnya saya sudah berusaha mempersiapkan itu dengan baik. Tapi saya selalu berprasangka baik pada setiap rencana Tuhan.
Teman-teman saya suka memprediksi saya bercita-cita sebagai seorang politisi, pejabat, dosen, bahkan presiden. Semua saya amini. Barangkali itu merupakan salah satu jalan takdir saya. Namun, orang tua saya menggantung harapan di hati saya untuk menjadi seorang guru. Oleh sebab itu, agaknya saya ingin mewujudkan impian itu daripada yang lainnya. Urusan profesi di masa depan sama halnya dengan jodoh. Semua itu merupakan rahasia Tuhan yang begitu indah dan mengejutkan. Jadi, mau berkata apa, biarkan cinta menemukan dewinya.

“ Organisasi diciptakan tidak untuk menciptakan rasa trauma bagi orang-orang di dalamnya. Tapi ia diciptakan, justru untuk menginspirasi, membangun pola pikir, dan menemukan pengalaman yang luas. Agar orang-orang itu juga mampu berbagi dan menebar inspirasi di tempat lain.”
Salam !

Eko Widianto
PBSI FBS Unnes 2010
@ekow_oke.