Friday, January 31, 2014

Tepat di atas ubun-ubun hamparan air


Tepat di atas ubun-ubun hamparan air
                        Sajak kerinduan

Menjadi sebuah metafor-metafor
Setiap pagi mulai beranjak siang
Dan sore memilih berlabuh pada malam

Membuang senandung rindu
Milik lelaki yang menunggu di pesisir pantai
Bersama kura-kura kecil yang kehilangan sedikit siriknya

Lalu kau melihat ada absurditas
Di atas awan tanpa batas
Melukiskan rasa tak terungkap
Di lubuk hatimu

Gadis kecil menari dalam lari
Tak hirau kanan kiri
Si bangau memilih bersembunyi
Di balik pohon rindang asri

Rindumu rinduku
Menyatu laksana ombak dengan kakiku
Menyentuh sepersetengah detik
Lalu berkejaran tak menentu
Datang dan pergi
Saling menyambut
Namun kau memilih bermain
Di luas samudra dingin
Lagi dan lagi oh lagi
Mari menyanyikan kidung mesra
Di bawah bias senjakala
Memelukkan rindumu dengan rinduku
Menciumkan mesra laguku dan lagumu

Kata siapa buta itu melingkup rasa
Aku dengan jelas melihat
Ronamu pada semburat senyum
Mentari sore hari
Tepat
Di hadapanku
Dan di atas ubun-ubun hamparan air

Bantaeng, 7 11 13
Eko W
@ekow_oke

Saya, Pengalaman, dan Idealisme

Saya, Pengalaman, dan Idealisme

Saya Eko Widianto. Lelaki yang terlahir pada tanggal 22 Mei 1992 lalu di pesisir pantai utara pulau Jawa, Jepara. Lelaki gemini yang menyukai ombak. Oleh sebab itu saya selalu menuliskan nama pena sebagai Putra Ombak setiap saya menyelesaikan suatu karya. Saya menyukai ombak. Bagi saya, ombak bisa menenangkan kegalauan seseorang. Ombak itu manis. Suaranya begitu romantis. Tapi terkadang juga bisa menjadi sesuatu yang menakutkan. Kemarahannya bisa meluluhlantakkan segala yang diterjang. Ombak itu, bisa mendamaikan sekaligus menggelisahkan. Itu menurut saya.
Beberapa teman menilai saya sebagai sosok yang ambisius, arogan, perfeksionis, dan keras kepala. Saya tidak mau diatur, tapi suka mengatur. Menurut beberapa teman, saya juga idealis dan sulit diberi masukan. Meskipun memang ada yang menilai saya lembut, alay, charm, bijak, santun, dan terkadang pendiam. Siapapun boleh menilai saya sesuai persepsi mereka. Saya pun menyadari jika setiap orang memiliki sisi-sisi hidup dan karakter yang begitu banyak. Begitupun dengan saya yang mendapat hadiah predikat begitu banyak dari teman-teman. Karena manusia itu makhluk adalah unik.
Saya suka nomor satu. Kesukaan saya ini sepertinya memang sedikit mempengaruhi psikologi saya yang tidak suka mengalah. Saya suka menjadi yang pertama. Saya selalu mengejar nomor satu. Sehingga wajar jika beberapa teman beranggapan bahwa saya ambisius dan tidak mau mengalah. Sejak TK sampai dengan Madrasah Aliyah, saya selalu duduk di barisan pertama (terdepan). Bahkan tradisi itu juga saya lanjutkan di bangku kuliah. Meski tidak sekonsisten dulu semasa sekolah.
Meskipun saya suka nomor satu dan ingin selalu menggapai hal-hal yang berbau satu, saya menyadari bahwa saya bukan tipe seseorang yang suka kompetisi. Saya tidak rajin mengikuti lomba. Saya tidak gandrung mengoleksi piala, medali, ataupun sertifikat juara. Hanya Tuhan begitu baik kepada saya. Saya bersyukur karena Tuhan selalu menjebakku untuk masuk dalam lingkaran peringkat teratas di kelas. Mulai dari TK sampai dengan kuliah, prestasi akademik saya boleh dikatakan cukup moncer. Padahal orang terdekat saya pasti tahu bahwa saya tidak suka belajar.
Semasa menjadi siswa Madrasah Ibtidaiyah (SD), saya merupakan siswa urutan teratas di kelas jika guru tengah membaca predikat atau rangking siswa. Di MTs (SMP) saya mulai menjadi remaja yang nakal. Suka ugal-ugalan saat naik motor meskipun postur tubuh saya terlalu kecil sebagai pengendara motor, mulai suka membolos untuk bermain PS di rental, dan hobi jemawa pada cewek-cewek di jalan pada saat naik motor. Semua itu cukup membuat saya tidak terlalu menikmati aktivitas belajar semasa MTs. Meskipun demikian, saya masih harus bersyukur karena saya juga masih berada di urutan atas rangking siswa. Paling merosot, saya hanya jatuh ke peringkat tujuh.
Saat Madrasah Aliyah, saya mulai merenungi dan menyadari kesalahan-kesalahan saya di MTs. Saya mulai sadar ketika salah seorang guru menghukum saya. Saya dihukum karena tidak mengikuti Matasba (sebutan ospek di madrasah kami). Tidak hanya itu, saya tidak ikut sekaligus mengajak banyak teman saya untuk tidak mengikuti acara itu. Waktu itu saya memang provokator bagi teman-teman saya. Sekitar lima orang lebih memilih untuk tidak mengikuti ospek karena terkena hasutan saya. Oleh sebab itu hukuman saya paling berat. Terlebih guru yang memberi hukuman kenal dengan dengan Bapakku. Kiamat sudah ketika vonis mengikuti ospek di tahun berikutnya dijatuhkan. Saya tidak hanya menanggung malu bagi diri saya sendiri. Tapi saya juga amat merasa bersalah pada teman-teman yang terprovokasi waktu itu sehingga mereka juga harus ikut ospek di tahun berikutnya.
Meskipun track record saya cukup suram menjadi seorang siswa baru, tapi karir saya kedepan dapat dikatakan cemerlang di Madrasah Aliyah. Di kelas X saya kembali mendapat peringkat teratas. Saya rajin menulis di majalah sekolah. Itu sebabnya saya seringkali menjadi delegasi sekolah untuk mengikuti pelatihan-pelatihan di instansi lain. Saya mulai meninggalkan teman-teman lama saya yang hanya suka hura-hura. Saya mencoba mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler meskipun awalnya terpaksa. Namun saya berusaha mengikutinya dengan ikhlas dan semangat.
Kelas X saya sudah cukup dekat dengan pengurus Osis di sekolah. Beberapa tulisan saya dimuat dalam majalah sekolah. Majalah sekolah kami adalah majalah terbaik satu provisnsi. Sehingga proses seleksi karya cukup sulit dan ketat waktu itu. Dengan sedikit kemampuan menulis itu, saya bersama teman-teman mencetuskan sebuah Himpunan Penulis di sekolah yang sebelumnya belum ada. Ide itu kemudian terealisasi di tahun berikutnya ketika saya sudah kelas XI. Himpunan Penulis Pelajar Matholi’ul Huda (HIPPMA) terbentuk sebagai wadah berkreasi bagi siswa-siswi sekolah kami.
Walaupun saya dekat dengan pengurus OSIS, itu tidak lantas menghapus status saya sebagai terdakwa buronan Ospek. Saya tetap mengikuti Matasba (Ospek) bersama adik-adik kelas. Akhirnya saya menjadi sorotan utama. Waktu itu saya sangat menyesali kesalahan saya tidak mengikuti Matasba di tahun sebelumnya. Begitu pula dengan beberapa teman saya.
Kejadian itu tidak membuat hubungan saya dengan Pengurus OSIS menjadi buruk. Justru hubungan kami semakin dekat. Bahkan saya dicalonkan sebagai ketua IPNU (waktu itu berganti nama dari OSIS ke IPNU). Meskipun pada akhirnya saya kalah dan mengabdi sebagai Bendahara. Saya memang tidak begitu berhasrat terpilih waktu itu. Saya hanya ingin tetap ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Selain aktif di kepengurusan IPNU, saya juga aktif sebagai pengurus Dewan Ambalan Mangun Sejati (Pramuka). Saya juga tergabung dalam Pasukan Khusus Mangun Sejati. Saya aktif dalam beberapa ekstrakurikuler, tergabung dalam kepengurusan HIPPMA yang baru saja terbentuk, bahkan saya ikut serta dalam kegiatan tingkat kabupaten yaitu DKC CBP (Dewan Koordinasi Cabang Corp Brigade Pembangunan). Semacam organisasi pengabdian masyarakat kepemudaan.
Menjadi seorang aktivis tidak berarti mengabaikan sisi akademik. Saya bukan tipikal orang yang berpikir demikian. Justru saya ingin sukses dalam keduanya. Itu saya buktikan sejak saya mulai terjun ke dunia organisasi di Madrasah Aliyah. Meskipun saya organisatoris, saya tetap bisa meraih rangking satu. Meskipun saya seorang aktivis, saya tetap punya kapabilitas dan kualitas di kelas. Jadi saya tidak menghalalkan seorang aktivis mengabaikan pengetahuan. Saya tidak mengesahkan seorang aktivis lupa jati diri pelajarnya. “ Boleh seorang aktivis sibuk dengan setumpuk kegiatannya, tapi sisihkan sedikit waktu untuk sekadar menikmati segelas teh hangat dan buku”. Pengetahuan adalah bekal kita, sedangkan kegiatan dalam organisasi adalah ladang praktik kita dalam melatih softskill. Jika kita berjalan tanpa pengetahuan, itu berarti kita sedang berjalan menuju jurang. Tapi jika kita simbangkan antara kegiatan dan belajar, tentu kita akan tahu kemana jalan yang membawa kita ke puncak.
Hasrat berorganisasi itu masih kental ketika saya menjadi mahasiswa. Di semester pertama saya mulai tergabung dalam Laboratorium Film Usmar Ismail di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya juga sempat terpilih sebagai wakil ketua dalam organisasi ini. Namun saya mulai kurang aktif dalam organisasi ini ketika saya sudah berkomitmen banyak di Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Berbekal pengalaman satu tahun sebagai staf ahli departemen, saya memberanikan diri untuk melangkah lebih. Pada tahun 2012, saya terpilih menjadi Ketua Hima BSI. Itu yang membuat saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai wakil ketua LFUI waktu itu. Sebab saya berjanji untuk tidak selingkuh dalam organisasi. Saya ingin belajar setia sebagai aktivis. Karena pada waktu yang sama, cinta itu tidak dapat dibagi.
Menjadi Ketua sebuah lembaga kemahasiswaan membuat idealisme saya semakin tinggi. Itu juga banyak mempengaruhi pola pikir saya menjadi sosok yang sistematis dan praktis. Saya mendapat banyak pengalaman dan ilmu dari keluarga besar ini. Teman-teman saya merupakan Sparing Partner saya dalam banyak hal. Dalam pengetahuan organisasi, manajemen, politik, kebahasaan, kesusastraan, kependidikan, kebangsaan, dan lain sebagainya. Saya sangat bersyukur karena dalam hidup saya telah dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti mereka. Pejuang Muda Cinta Indonesia, itu adalah mereka.
Ketika menjadi aktivis kampus, saya juga berusaha kembali membuktikan bahwa aktivis tidak boleh bobrok dalam hal akademis. Saya berusaha seimbang dalam membagi porsi antara organisasi dengan tugas kuliah. Sehingga nilai saya selalu stabil di tengah-tengah kesibukan berorganisasi. Tangkup tangan di dada, tunduk kepala pada Tuhan yang maha esa. Saya selalu berkesempatan menikmati nilai cumlaude setiap yudisium. Bagi saya itu adalah bukti atas pandangan miring terhadap aktvis. Tidak semua aktivis gagal dalam hal akademik.
Saya juga sempat tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII) periode 2012-2014. Oleh karena itu saya pernah menggagas sebuah organisasi tingkat kota Semarang bagi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Bersama organisatoris-organisatoris dari Undip, IKIP PGRI Semarang, Unissula, dan Unnes kami membentuk Sekumpulan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Semarang (Sembarang) pada tahun 2012. Itu adalah pengalaman yang membuat saya semakin menikmati sebuah proses dalam organisasi.
Saya semakin menikmati manisnya organisasi ketika saya terpilih sebagai Ketua Tim Praktik Pengalaman Lapangan di SMA Taruna Nusantara Magelang. Sekolah yang besar dan terkenal. Di sana saya bertemu siswa-siswi dari Sabang sampai Merauke. Tim saya juga merupakan gabungan mahasiswa-mahasiswi pilihan dari setiap jurusan. Sehingga ketika menjadi komandan dalam barisan ini, tentu jauh berbeda dengan pengalaman saya sewaktu berada di organisasi lainnya. Pengalaman ini semakin membentuk pola pikir dan semangat saya untuk melangkah kedepan.
Satu minggu setelah selesai melaksanakan PPL, saya kembali menjadi delegasi. Saya terpilih sebagai delegasi KKN Kebangsaan yang untuk kali pertama diselenggarakan di Sulawesi Selatan. Saya kembali bertemu dengan anak-anak muda se-Indonesia di Makassar (Unhas) saat menerima pembekalan sebelum terjun ke lapangan, tepatnya di Kabupaten Bantaeng Sulsel. Dari lima mahasiswa Unnes yang terpilih sebagai delegasi, saya kembali mendapat amanah sebagai koordinator tim KKN Kebangsaan Unnes. Cukup sulit berhubungan dengan keempat teman seperjuangan saya. Karena kami diterjunkan di lokasi yang berbeda-beda. Kami hanya dapat berkoordinasi ketika ada dialog kebangsaan maupun even yang diselenggarakan di pusat Kabupaten. Pengalaman bertemu dengan mahasiswa se-Indonesia kembali dan mengabdi di pelosok negeri, semakin membangkitkan optimisme serta nasionalisme saya sebagai pemuda sekaligus bangsa Indonesia.
Dari kegiatan KKN Kebangsaan itu saya juga banyak mendapatkan pengalaman mempelajari budaya, baru, dan lingkungan baru. Saya juga belajar memimpin, dipimpin, membaca paradigma teman-teman dari Sabang sampai Merauke, dan masih banyak lagi. Bantaeng adalah keluarga baruku.
Keluarga Mahasiswa Jurusan barangkali menjadi organisasi terakhir yang saya ikuti di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ini. Saya menjadi bendahara di KMJ 2013 setelah purnajabatan dari Ketua Hima BSI 2012. Sebab setelah itu saya ingin berkonsentrasi pada tugas akhir strata satu saya. Saya ingin sekali melanjutkan pendidikan ke S-2 setelah lulus dari S-1. Namun pengalaman menjadi pemimpin yang mungkin tidak banyak dimiliki orang lain, justru sebagai seorang Komandan Tingkat (Komting) di kelas. Teman-teman menyebut saya sebagai Komting abadi. Sebab dari semester satu sampai akhir masa perkuliahan saya selalu ditunjuk sebagai Komting. Itu adalah pengalaman yang luar biasa.
Selain berorganisasi, Saya juga suka menjelajah. Saya lahir di Jepara, kecil di ibu kota, tumbuh di Jepara lagi, kuliah di Semarang, dan Saya ingin belajar lagi ke kota-kota lain. Ketika Madrasah Aliyah, saya pernah memiliki cita-cita melanjutkan kuliah di Mesir. Namun karena beberapa hal saya mengurungkan niat itu. Meskipun sebelumnya saya sudah berusaha mempersiapkan itu dengan baik. Tapi saya selalu berprasangka baik pada setiap rencana Tuhan.
Teman-teman saya suka memprediksi saya bercita-cita sebagai seorang politisi, pejabat, dosen, bahkan presiden. Semua saya amini. Barangkali itu merupakan salah satu jalan takdir saya. Namun, orang tua saya menggantung harapan di hati saya untuk menjadi seorang guru. Oleh sebab itu, agaknya saya ingin mewujudkan impian itu daripada yang lainnya. Urusan profesi di masa depan sama halnya dengan jodoh. Semua itu merupakan rahasia Tuhan yang begitu indah dan mengejutkan. Jadi, mau berkata apa, biarkan cinta menemukan dewinya.

“ Organisasi diciptakan tidak untuk menciptakan rasa trauma bagi orang-orang di dalamnya. Tapi ia diciptakan, justru untuk menginspirasi, membangun pola pikir, dan menemukan pengalaman yang luas. Agar orang-orang itu juga mampu berbagi dan menebar inspirasi di tempat lain.”
Salam !

Eko Widianto
PBSI FBS Unnes 2010
@ekow_oke.

Thursday, January 30, 2014

Psitacula Passerina, Tragulus Javanicus, dan Sekawanan Penerima Mandat Puncak Sambaliung

Psitacula Passerina, Tragulus Javanicus, dan Sekawanan Penerima Mandat Puncak Sambaliung

Psitacula Passerina, Si Nona Parkit melempar senyum pada jenderal Kancil di tengah dendang siang. Sedang Jenderal Kancil juga belum sempat mengenal sekawanan yang akan menjadi partner sehari-harinya nanti. Ada tujuh kawanan rupanya, namun Jenderal Kancil baru mengenal Nona Parkit. Itupun tidak akrab.
Sempat Jenderal Kancil salah langkah. Ia masuk ke dalam sekawanan lain. Sama, belum ia tahu satupun di dalamnya. Namun panglima utusan dewa mengingatkannya agar masuk ke dalam sekawanan yang ditunjuk. Jenderal kancil mengangguk dan menuruti.
Jenderal kancil menyapa lembut sekawanan dengan senyum khasnya. Menjabar satu persatu, kecuali Nona Parkit. Sebab ia tahu, nona parkit sudah mengenalnya. Ia juga menangkap rona senang di wajah nona parkit siang itu. Kala jenderal kancil masuk dalam sekawanan yang sama dengannya.
“ Akhirnya, dia masuk ke sekawanan ini juga.” Bisikan hati yang tersenyum Nona Parkit.
Pandangan Jenderal Kancil masih mengarah ke segala arah. Melihat sekawanan rimbanya yang juga menemukan kawanan baru di saat yang sama. Ada yang terlempar ke rimba Huluraya, ada juga yang terutus ke pesisir pantai Vandenhous. Menarik, Jenderal Kancil seorang diri diutus para dewa menuju altar tertinggi, taman sakura dan kebun stroberi yang terhampar luas, puncak Sambaliung.
“ Sambaliung akan segera diberangkatkan bersama kereta angin puting beliung. Segera bawa perbekalan menuju angin puting beliung. Perjalanan akan sangat jauh.”
Jenderal kancil, Nona Parkit, dan enam sekawanannya mendengarkan maklumat itu dengan saksama. Mereka segera mengambil perbekalan dan segera membawa ke angin puting beliung. Tapi tampaknya hanyalah perbekalan yang terbang menuju puncak Sambaliung dengan angin puting beliung. Sekawanan akan dibawa dengan kereta kencana di malam hari. Sebab masih ada agungan sesembahan bagi sekawanan di usai senjakala.
Sembari menunggu agungan sesembahan bagi sekawanan, sekawanan Sambaliung menunggu di rumah Rajadiraja. Jenderal Kancil dan sekawanan sempat saling bertukar sapa dan nama. Sembari menikmati istirahat sore hari di pantai Sirinayya, Jenderal Kancil mengingat sekawanannya satu persatu.
Tragulus Javanicus, adalah tipikal yang pandai mengingat. Ia cukup senang dengan segala keceriaan baru dengan sekawanannya. Cuma keakraban belum menjadi temali yang mengikat hati sekawanan. Jenderal Kancil tetap menguntai senyum di depan ombak sore hari. Sebab percikan seribu ombaklah yang akan menyatukan mereka semua. Semua akan sama-sama basah, jika masa mulai tiba.
Jenderal kancil sore itu tidak ditemani Si Nona Parkit. Entah di mana nona parkit kala mentari ingin pergi. Serasa sunyi Jenderal kancil dengan sekawanan yang baru ia kenal. Meskipun sore mengantarkannya pada manisnya senjakala di pantai Sirinayya. Pantai kebanggaan bangsa Butta Toa.
Butta Toa adalah negeri yang tersohor di kaki tanah Tanaka. Butta Toa menjadi tersohor sebab Rajadiraja Hajidullah merupakan raja yang arif dan bijaksana dalam memimpin negerinya. Oleh sebab itu, sekawanan diberi mandat untuk belajar sekaligus andil membangun Butta Toa. Termasuk Jenderal Kancil yang jauh-jauh diutus ke Butta Toa dari kerajaan Srimanggala.
Hingga kisah merambah malam usai senjakala menutup diri pada jagat raya. Agungan sesembahanpun begitu meriah di dekat genangan air jernih istana Rajadiraja. Malampun akan segera mengantarkan Jenderal Kancil dengan sekawanan menuju puncak Sambaliung. Puncak di mana Jenderal Kancil dengan sekawanan akan banyak belajar, menyatu dengan awan, dan menapakkan kaki di puncak tertinggi Butta Toa.
Kereta kencana telah siap gemerincingkan roda. Meliukkan pesona di lika-liku setapak menuju Puncak Sambaliung. Kanan kiri adalah hamparan kebun luas yang dihiasi taburan gemintang di atasnya. Duhai negeri yang indah nan permai. Srimanggala, negeri milik Jenderal Kancil, tak mungkin memiliki keindahan seelok itu. Maka tidak heran jika Jenderal Kancil tercengang sepanjang perjalanannya menuju persinggahan di puncak Sambaliung.
Tepat pada tengah malam sekawanan sampai di persinggahan Puncak Sambaliung. Hawa dingin menyambut Jenderal Kancil dengan sekawanan kala memijakkan kaki di tangga persinggahan. Dingin itu sedikit sirna saat pemilik persinggahan, pemangku adat, menguntai senyum pada sekawanan. Sehingga hangat itu merasuk menjadi energi unggunan api pada dingin malam hari.
Tiba-tiba Panda menggigil dingin di samping Jenderal Kancil dan sekawanan. “ Sepertinya aku tak akan mampu melawan dingin di puncak ini.” Ujar Panda dengan melipat tangannya.
“ Bertahanlah, kawan. Janganlah dingin ini kau lawan. Tapi nikmatilah, menyatulah dengan ini dingin. Hingga kau menjadi bagiannya. Hingga kau bersahabat dengannya. Janganlah kau jadikan dirimu musuh baginya.” Nasihat Pipit Hitam pada Beruang Madu.
“ Benar, kau pasti kuat, kawan. Kau Panda yang kuat menikmati dingin, bukan?” Tanya Kijang seraya memberi semangat.
“ Baik, saudara sekawanan. Aku akan berusaha sampai matahari esok menyapa. Demi kalian, akan kutaklukkan dingin ini malam. Tapi jika hingga esok pagi tubuh ini masih belum menghangatkan. Sepertinya puncak sambaliung bukanlah habitat yang tepat buatku. Tangkup tangan di dada pada sekawanan.” Pilu dalam gigil seorang Panda.
“ Aku saja mampu. Mana mungkin kau tak mampu, Panda?” Timpal Jenderal Kancil.
“ Sebab telah kumiliki cacat di bagian tubuh ini. Aku tak akan mampu berlama di tengah embun yang menyergap tulang sumsum, Jenderal Kancil. Tangkup tangan di dada.”
“ Berusahalah. Masih ada hari-hari esok. Ilmu menanti kita di ladang puncak Sambaliung.” Si Nona Parkit kembali memberi semangat.
“ Semoga. Semoga diri ini mampu.” Panda masih kedinginan dirundung pilu.


Eko W.
2014