Thursday, October 16, 2014

GELIAT SASTRA DI SEKOLAH BERBASIS PESANTREN DAN KEDUDUKAN STRATEGIS TEORI SASTRA DALAM MENJAGA EKSISTENSI KESUSASTRAAN INDONESIA


Eko Widianto*
0202514048

Ilmu sastra menjadi kajian yang cukup kontroversial di sekolah. Mengapa kontroversial? Sebab sebagian mengaggap bahwa sastra itu menarik untuk didalami. Sementara sebagian menganggap bahwa sastra tidak cukup penting sebagai bekal kehidupan dan masa depan. Siswa cenderung terbagi ke dalam dua kelompok tersebut. Bahkan, di sekolah saya mengajar, kelompok yang menganggap bahwa sastra itu kurang menarik untuk dikaji lebih banyak dari pada pecinta sastra. Ada beberapa penyebab itu terjadi. Mulai dari guru bahasa Indonesia sebagai penginspirasi kesusastraan, sampai dengan hasrat diri siswa yang memang belum termunculkan.
Penyebab pertama mengapa sastra kurang memiliki geliat di sekolah bernuansa pesantren muncul dari guru sebagai inspirator, sekaligus motivator yang memiliki kewajiban moral dalam menyiapkan sastrawan-sastrawan masa depan Indonesia. Guru bahasa Indonesia yang seharusnya turut menularkan semangat bersastra, justru masih belum memiliki semangat dari dalam dirinya sendiri. Guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut masih berfokus pada pembelajaran bahasa saja. Dengan demikian, pembelajaran sastra di kelas memiliki porsi yang tidak lebih besar dari pada pembelajaran bahasa. Di samping itu, pengalaman bersastra guru juga akan memengaruhi nuansa pembelajaran bahasa dan sastra di kelas. Semakin banyak pengalaman sastra yang dimiliki oleh guru, semakin hangat dan hidup pula nuansa sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Namun, semakin minim pengalaman yang dimiliki oleh guru dalam bersastra, semakin sedikit pula efek cinta sastra yang muncul dalam pembelajaran di kelas.
Selain lebih banyak berfokus pada pembelajaran bahasa dan kurangnya pengalaman guru dalam bersastra, guru juga tidak banyak memberikan motivasi dan pemahaman bahwa prospek sastra sangat baik untuk masa depan. Pola pikir yang menganggap bahwa sastra itu kolot, kotor, urakan, gondrong, perokok, peminum, brutal, dan lain sebagainya, masih selalu melintas di dalam pikiran orang-orang. Termasuk guru yang sadar ataupun tidak, masih menyangsikan bahwa sastra punya masa depan. Bagi banyak orang, sastrawan tidak memiliki kemapanan di masa depan. Prospek hidup sastrawan tidak akan jelas. Dengan kata yang sederhana, “sastrawan tidak akan bisa kaya!”. Padahal, jika kita mau meng-expose orang-orang yang sukses besar di dunia sastra, bukan tidak mungkin siswa di sekolah akan sangat terinspirasi dan termotivasi untuk mendalami bidang ini. Dunia sastra memiliki prospek yang sangat baik jika dikaitkan dengan ekonomi kreatif. Siswa adalah penerus Andrea Hirata, Dewi Lestari, Ayu Utami, Donny Dhirgantoro, Raditya Dika, Ahmad Fuadi, bahkan sekelas sastrawan adiluhung Pramoedya Ananta Toer dari Blora. Tokoh-tokoh itu memiliki hidup yang mapan dalam ekonomi dan terkenal di masyarakat dunia.
Sekolah yang mewajibkan siswa tinggal di pesantren (asrama) memiliki banyak sekali kegiatan ekstra di luar kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut disesuaikan dengan nuansa sekolah. Sekolah yang memiliki pesantren sebagai tempat tinggal siswanya, akan banyak memprogramkan kegiatan mengaji kitab-kitab salaf dan ilmu agama. Sementara kegiatan ekstrakurikuler lain yang melatih soft skill siswa tidak memiliki porsi yang lebih banyak. Hal ini kemudian berdampak pada geliat sastra di sekolah. Kesempatan siswa merasakan pengalaman bersastra akan sangat sedikit. Padahal, belajar sastra tidak hanya berhenti pada imajinasi dan pikiran. Belajar sastra, justru belajar beraksi, belajar mengolah rasa menjadi tindakan yang mengekspresikan perasaan itu. Kegiatan ini membutuhkan waktu dan kesempatan yang luas.
Beberapa penyebab tersebut, kemudian memiliki dampak yang berbanding lurus terhadap  minat bersastra siswa. Siswa tidak mendapatkan semangat, motivasi, sekaligus inspirasi dari guru dalam mencintai sastra. Selain itu, siswa juga tidak pernah berpikir lebih jauh mengenai prospek sastra kedepan. Siswa cenderung meng-amini pola pikir yang lama terkungkung bahwa sastra tidak akan membawa masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, simpulan dari setiap pikiran siswa adalah “sastra tidak menarik dan tidak penting!”. Padahal, tentu secara teoretis kita tahu bahwa Horrace mengatakan bahwa sastra itu Dulce et utille yang berarti indah dan berguna.
Kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren juga membuat energi siswa cukup terkuras. Kegiatan ekstra (dalam hal ini selain sastra) yang cukup padat membuat ruang gerak siswa bersastra semakin terhimpit. Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menciptakan pengalaman, minimal berlatih vokal dan membaca puisi di luar kegiatan pembelajaran. Selain itu, keterampilan menulis siswa yang masih dalam kategori rendah juga semakin menenggelamkan kesempatan mengekspresikan perasaan mereka ke dalam bentuk karya sastra. Padahal, jika mereka dibimbing dan diberi semangat tinggi, kesempatan menjadikan mereka sastrawan masa depan sangat terbuka lebar.
Itulah beberapa problematika pembelajaran sastra di sekolah berbasis pondok pesantren. Pembelajaran sastra tidak banyak diberikan ruang gerak untuk berkembang. Bahkan, sekadar bernapas pun tidak ada ruang. Beberapa permasalahan tersebut seharusnya menjadi introspeksi setiap orang yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Khususnya mereka yang secara profesional memiliki disiplin ilmu pendidikan bahasa dan sastra. Sebab, perlu ada tindakan nyata untuk menjaga kesusastraan Indonesia agar tetap berada pada jalur eksistensinya.
Harapan itu tentu muncul dari pembelajaran teori sastra di perguruan tinggi. Secara khusus, tentu perguruan tinggi yang mencetak sarjana maupun magister kependidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sebab, lulusan dari perguruan tinggi itulah yang secara memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesusastraan Indonesia tetap eksis. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang selalu menjadi harapan dalam kajian teori sastra dalam perkuliahan di perguruan tinggi. Harapan-harapan tersebut secara eksplisit adalah sebagai berikut.
Pertama, perkuliahan teori sastra seharusnya tidak berhenti pada pembahasan teori-teori kesusastraan. Akan tetapi, teori-teori tersebut dikaitkan dengan fakta empiris yang terjadi di lapangan. Perkuliahan tersebut harus mampu merumuskan jawaban atas masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Baik pergolakan sastra di kalangan sastrawan, maupun eksistensi sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian, pengkajian teori-teori sastra di perkuliahan dapat berguna secara langsung untuk eksistensi kesusastraan Indonesia.
Kedua, perkuliahan teori sastra dapat memberikan inspirasi besar bagi mahasiswa. Dengan inspirasi itu, mahasiswa akan menularkan semangat bersastra di lingkungannya. Terutama ketika sebagian mahasiswa kembali ke dunia pendidikan. Mereka tidak buta dengan kajian sastra sebagai ilmu. Jadi, tidak hanya pengetahuan sastra sebagai karya saja yang mereka miliki, tetapi mereka juga tahu bahwa sastra dapat dikaji sebagai ilmu yang meliputi teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Demikian permasalahan sastra yang muncul di lapangan dan relevansinya dengan perkuliahan teori sastra di perguruan tinggi. Dua hal tersebut serupa sisi mata uang, menyatu tapi tidak berada pada posisi yang sama. Akan tetapi, kedua hal tersebut saling berhubungan dan membutuhkan. Dengan belajar teori sastra, mahasiswa yang akan terjun ke dunia pendidikan menjadi lebih siap untuk menularkan semangat bersastra. Minimal, mereka tahu dua sisi sastra baik sebagai disiplin ilmu, maupun berupa karya yang memiliki keindahan.

*) Penulis adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X SMK Roudlotul Mubtadiin Balekambang Jepara, sekaligus mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Unnes tahun 2014.

“MENUJU ASEAN ECONOMIC COMMUNITY” (Peran Pendidik dalam Mempersiapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN) Eko Widianto*)


“ Tanaman terolah karena petani, dan manusia diubah oleh pendidikan. Kita terlahir lemah, maka kita butuh kekuatan; kita terlahir dalam keadaan takberpunya, maka kita butuh pertolongan; kita terlahir bodoh, maka kita butuh pemikiran. Segala yang tak kita miliki saat lahir dan yang kita butuhkan demi perkembangan diri, kita peroleh melalui pendidikan.”
(Roasseau dalam Wesfix, 2013)

Asean Economic Community
Tahun 2015 merupakan momen penting dalam dunia ekonomi negara-negara Asia Tenggara. Sebab, para pemimpin negara-negara ASEAN telah bersepakat bersama untuk pencapaian ASEAN Community yang dimulai dengan penerapan ASEAN Economic Community pada 2015 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-19 di Bali, 17 November 2011 lalu. ASEAN akan menjadi satu masyarakat ekonomi yang tergabung dalam ASEAN Economic Community (AEC) atau disebut juga “Masyarakat Ekonomi ASEAN“ pada tahun 2015.
Berdasarkan AEC Blueprint, ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015 merupakan suatu program bagi negara-negara ASEAN untuk lebih meningkatkan kualitas ekonomi khususnya perdagangan. AEC Blueprint adalah arahan atau acuan perwujudan AEC 2015 kelak. Dalam penerapannya pada tahun 2015, AEC/MEA   akan menerapkan 12 sektor prioritas yang disebut free flow of skilled labor (arus bebas tenaga kerja terampil) untuk perawatan kesehatan (health care), turisme (tourism), jasa logistik (logistic services), e-ASEAN, jasa angkutan udara (air travel transport), produk berbasis agro (agrobased products), barang-barang elektronik (electronics), perikanan (fisheries), produk berbasis karet (rubber based products), tekstil dan pakaian (textiles and apparels), otomotif (automotive), dan produk berbasis kayu (wood based products).
Perusahaan mempunyai kebebasan untuk memilih lokasi pendirian pabrik dan kantor perusahaan di kawasan ASEAN. Peluang Indonesia untuk bersaing dalam  AEC/MEA  2015 cukup besar. Hal ini didukung oleh peringkat Indonesia pada ranking 16 dunia untuk besarnya skala ekonomi dengan 108 juta penduduk sebagai kelompok menengah yang sedang tumbuh, sehingga berpotensi sebagai pembeli barang-barang impor (sekitar 43 juta penduduk). Kemudian perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia. Selanjutnya adalah masuknya Indonesia sebagai peringkat empat prospective destinations berdasarkan UNCTAD World Investment Report.
Tantangan Pendidik dan Pendidikan dalam Menyongsong AEC
Guru sebagai pendidik memiliki posisi strategis dalam membangun sebuah peradaban. Tentu melalui sektor pendidikan. Sebab, peradaban terbangun mulai dari pendidikan. Pendidikan yang maju akan turut memajukan sebuah negara. Begitu pula sebuah negara dengan pendidikan yang minim, dapat diprediksi bahwa kekuatan negara tersebut dalam mengikuti persaingan global tidak akan kompetitif. Dengan spekulasi lain, negara tersebut justru hanya bisa jadi penonton dalam persaingan global negara-negara maju di dunia.
Melihat kenyataan persaingan bangsa-bangsa yang semakin maju, Indonesia perlu berbenah dan bersiap untuk menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika tidak ingin kalah di negeri sendiri, segenap masyarakat perlu mempersiapkan diri dalam menyambut gemerlap dunia ekonomi tersebut. Hal paling penting adalah menyiapkan generasi muda –dalam hal ini, peserta didik-- untuk menghadapi kenyataan itu. Pendidikan juga memiliki tanggung jawab besar dalam mempersiapkan generasi-generasi berdaya saing tinggi untuk menyongsong gemerlap ekonomi di ASEAN. Dengan kata lain, guru mempunyai peran penting dalam mempersiapkan generasi muda yang siap menyongsong ASEAN Economic Community. Setidaknya, ada beberapa hal yang perlu dimiliki oleh generasi muda Indonesia dalam turut serta di ekonomi global tingkat ASEAN tersebut.
Ekonomi Kreatif dan Jiwa Wirausaha sebagai Muatan Pembelajaran
“ Jika tidak ingin menjadi pelayan, maka jadilah juragan”. Tanpa jiwa wirausaha yang memadai, bagaimana mungkin kita bisa menjadi juragan. Pendidik harus sadar betul kebutuhan dasar Indonesia dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kita tidak mungkin lagi mengharapkan lapangan pekerjaan dalam percaturan ekonomi global. Sebab, semakin besar harapan kita pada sebuah lapangan pekerjaan, itu berarti semakin kerdil pula mental kita sebagai pemimpin dalam kesempatan tersebut. Oleh sebab itu, membekali peserta didik jiwa usaha dan mengenalkan mereka pada ekonomi kreatif menjadi sangat penting. Dengan bekal tersebut, pendidikan tidak sekadar mengantarkan mereka pada taraf turut memeriahkan tetapi turut memimpin Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pendidikan tidak sekadar mengarahkan peserta didik pada learning to do, tetapi juga learning to live together.
Komunikasi dan Etika Hubungan Internasional Ditingkatkan
Tokoh pendidikan sekaligus filsuf, Confusius dalam Wesfix (2013:6-7) lebih menekankan moral daripada pengetahuan dalam sebuah pendidikan. Ia lebih memerhatikan moral dibandingkan dengan pengetahuan. Ia sangat percaya bahwa dengan menata perilaku untuk saling menghormati antarbagian dalam masyarakat, manusia akan jadi lebih baik. Dalam situasi saling hormat menghormati, terciptalah harmoni, sehingga ajaran apapun akan diterima secara mudah.
Komunikasi sangat penting dalam sebuah hubungan. Tanpa komunikasi yang terbangun dengan baik, hubungan akan dipenuhi dengan permasalahan. Generasi muda Indonesia, dalam hal ini adalah peserta didik perlu dibekali retorika berkomunikasi dengan baik. Cara berkomunikasi mereka akan menentukan arah keberhasilan bangsa ini. Komunikasi mereka tidak lagi berskala regional atau nasional. Akan tetapi, mereka telah dituntut mumpuni berkomunikasi dengan skala internasional. Oleh sebab itu, tugas pendidik adalah membekali peserta didik kompetensi berkomunikasi yang andal. Dengan retorika komunikasi yang baik, modal pertama telah dimiliki generasi muda Indonesia dalam mengambil peran terpenting pada ekonomi global tingkat Asia Tenggara ini.
Selain retorika dalam berkomunikasi, etika juga sangat penting dimiliki oleh generasi muda. Etika akan menentukan etos kerja generasi kita dalam ekonomi global tersebut. Etos kerja sangat menentukan keberhasilan generasi muda di dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Oleh sebab itu, etika hubungan internasional dan etos kerja perlu dipupuk sejak dini melalui dunia pendidikan. Pendidik dapat mengondisikan peserta didiknya pada saat pembelajaran di kelas berlangsung. Hal ini tentu berhubungan dengan kompetensi sikap yang harus dimiliki oleh peserta didik. Dengan mengaitkan standar kompetensi sikap dan kebutuhan bangsa saat ini, tentu praktik pendidikan dan fakta di lapangan akan selaras.
Mental Juara
Karakter menurut Narwanti (2011:27) adalah suatu hal yang unik hanya ada pada diri individual ataupun pada suatu kelompok, bangsa. Karakter itu adalah landasan dari kesadaran budaya, kecerdasan budaya, dan merupakan perekat budaya. Oleh sebab itu sikap peserta didik menjadi konsentrasi baru dalam pembelajaran. Terdapat dua sikap penting yang menjadi keistimewaan pembelajaran dalam kurikulum 2013. Dua sikap tersebut yaitu sikap religius dan sikap sosial.
Kaitannya dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN, pendidik perlu menanamkan satu karakter atau mental pada peserta didik. High mentality harus dimiliki setiap anak muda di Indonesia. Dengan memupuk mental juara yang tinggi pada setiap pemuda, Indonesia akan memberi warna, bahkan menjadi good player dalam percaturan ekonomi tingkat Asia Tenggara. Tanpa mental juara yang tinggi, pemuda-pemuda Indonesia tidak akan memiliki motivasi untuk mengembangkan diri. Hal semacam ini akan memicu disorientasi dan kemunduran dalam dunia ekonomi. Sebab, tanpa memiliki mental juara yang kompetitif kita tidak akan mampu mengarungi lautan ekonomi yang begitu luas dan liar.
Pendidik harus peka dengan kebutuhan bangsa saat ini. Terlebih mental apa yang harus dimiliki peserta didik dalam mengahadapi ekonomi global tingkat Asia Tenggara. Pendidik perlu membekali mereka agar siap. --Bukan sekadar siap sebagai peserta, tapi siap sebagai pemimpin di kancah Masyarakat Ekonomi ASEAN--. Memupuk mental kompetitif dan juara menjadi suatu keharusan dalam pembelajaran. Tanpa mental ini, bangsa Indonesia hanya mampu menjadi penonton di rumah sendiri. Padahal, harapan kita pasti sebagai pemimpin dalam kancah ekonomi global tersebut. Oleh sebab itu, guru perlu memupuk dengan baik mental juara pada setiap jiwa peserta didik.

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.

DAFTAR PUSTAKA
Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter.Yogyakarta: Familia.
Artikel hasil KTT ASEAN.

Wesfix, Tim. 2013. Teacher’s Wisdom. Jakarta: Gramedia.

UPAYA PENDIDIKAN DALAM MENGANGKAT POTENSI LOKAL KABUPATEN JEPARA Oleh: Eko Widianto (0202514048)*


            Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN/20/2003) Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan menjadi sangat penting bagi seseorang. Dengan pendidikan, kehidupan seseorang dapat berkembang. Bekal untuk menjalani hidup adalah pendidikan yang mampu menuntun seseorang ke arah yang baik dan benar.
            Pendidikan juga akan mempengaruhi segala hal dalam kehidupan. Dalam sebuah sistem, pendidikan berhubungan dengan sistem-sistem lain. Pendidikan tidak dapat berdiri sendiri tanpa komponen lain. Begitu pula dengan komponen-komponen kehidupan lainnya yang tidak dapat terlepas secara bebas dari pendidikan. Misalnya, pendidikan tidak akan dapat terlepas dari dunia ekonomi, kebudayaan, dan politik. Demikian pula dengan ekonomi, kebudayaan, dan politik yang tidak bisa terlepas dari pendidikan. Komponen-komponen tersebut memiliki keterkaitan yang saling membangun satu sama lain. Komponen-komponen tersebut menyatu dalam sebuah sistem kehidupan dan melekat pada manusia.
            Komponen-komponen yang menyatu ke dalam sebuah sistem tersebut kemudian saling mempengaruhi. Pendidikan dapat mempengaruhi keadaan perekonomian dan politik di Indonesia. Pendidikan juga terpengaruh dengan kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Terbukti ketika semakin banyak semangat pengajar dalam mengangkat kearifan lokal sebagai nuansa atau basis pembelajaran. Pendidikan multikultural juga senantiasa digerakkan sebagai wujud menjaga keberadaan budaya yang begitu beragam di Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa pendidikan tidak akan terlepas dari komponen-komponen lain dalam kehidupan.
            Pendidikan juga memiliki peran penting sebagai pengawal sekaligus pengangkat budaya lokal suatu daerah. Budaya lokal berarti kebudayaan yang secara khas dimiliki oleh suatu daerah dan tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain. Contohnya adalah Batik di Pekalongan, Tifa di Papua, Songket di Palembang, Ukir di Jepara, dan masih banyak lagi. Keberadaan budaya-budaya tersebut menjadi ciri khas sebuah daerah. Budaya tersebut akan senantiasa terjaga jika dilestarikan. Sebaliknya, kebudayaan tersebut akan punah jika tidak dikonservasi dengan baik. Pendidikan berada pada posisi yang strategis dalam menjaga kebudayaan tersebut. Sebab, melalui pendidikan internalisasi kebudayaan-kebudayaan lokal pada generasi muda dapat berjalan dengan baik.
            Setiap daerah memiliki kekhasan budaya sebagai potensi lokal. Potensi itu kemudian dapat mengangkat nama daerah. Selain itu, potensi lokal daerah dapat menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi suatu daerah. Dengan memiliki potensi yang khas pada daerah, potensi pariwisata daerah tersebut juga akan terangkat. Seperti yang terjadi di Jepara. Dengan budaya ukirnya, Jepara tidak asing lagi di telinga masyarakat. Bahkan turis mancanegara sudah banyak yang tahu tentang Kota Ukir tersebut.
            Jepara tentu memiliki beberapa potensi lokal yang menjadi ciri khas bagi kabupaten tersebut. Selain potensi lautnya yang melimpah, Jepara juga memiliki pesona pariwisata yang memikat wisatawan. Sebab, garis pantai kabupaten Jepara sangat panjang dan memiliki keindahan. Pariwisata bahari menjadi bagian penting dalam potensi daerah Jepara. Karimun Jawa, Pantai Bandengan, Pantai Kartini, Benteng Portugis, dan lainnya, sudah tidak asing di telinga wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
            Tidak hanya di potensi pariwisata, Jepara juga memiliki pesona lain. Pesona itu juga muncul dari Sentra Tenun Troso. Kain tenun Troso sudah banyak dikenali masyarakat. Kain yang unik dan murah ini menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berlibur ke Jepara. Selain membeli kain tersebut sebagai oleh-oleh, wisatawan juga dapat melihat secara langsung pertunjukan pembuatan kain tenun Troso di lokasi pembuatannya. Dengan menyaksikan pertunjukan pembuatan kain tenun, wisatawan tahu proses pembuatan kain tenun tersebut dari proses pertama sampai dengan terciptanya kain yang utuh dan cantik.
            Selain potensi pariwisata dan tenun Troso, yang paling kondang adalah budaya ukir Jepara. Ukir tidak akan lepas dari kabupaten kecil tersebut. Selain sudah menjadi top of mind setiap orang bahwa Jepara adalah Kota Ukir, meubel sudah menjadi industri utama kabupaten tersebut. Mayoritas mata pencaharian penduduk Jepara adalah membuat produk meubel dan ukiran. Ukiran sudah mendarah-daging bagi masyarakat Jepara. Inilah yang kemudian menjadi potensi lokal terbesar kabupaten Jepara. Dengan memiliki potensi yang unik dan prospektif ini, pemerintah perlu mengonservasi dan senantiasa mengembangkannya menuju arah yang lebih baik. Untuk mengembangkannya, tentu salah satu cara dapat ditempuh melalui sektor pendidikan. Ada beberapa hal yang telah muncul dalam pendidikan untuk mengangkat potensi lokal daerah Jepara. Berikut beberapa hal yang telah menjadi napas penggugah potensi lokal Jepara.

Sebagai Muatan atau Basis Pembelajaran di Kelas
            Potensi lokal Jepara kini menjadi muatan atau basis pendidikan di kelas. Artinya, topik-topik pembelajaran di kelas selalu dikaitkan dengan potensi lokal yang ada di Jepara. Terutama mata pelajaran yang memiliki korelasi dengan potensi lokal Jepara. Misalnya, mata pelajaran seni budaya di sekolah menengah atas selalu mengaitkan topik-topik pembelajarannya dengan kebudayaan yang ada di Jepara seperti ukiran dan tenun Troso. Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki kelas produktif Busana Butik juga senantiasa mengembangkan pembelajarannya berbasis potensi lokal Jepara. Contohnya ketika mereka mendesain sebuah pakaian, bahan dasar yang digunakan adalah tenun Troso.
            Tidak hanya mata pelajaran seni budaya yang mencoba mengaitkan konsep pembelajarannya dengan potensi lokal Jepara, mata pelajaran lain pun demikian. Mata pelajaran bahasa Indonesia juga dapat menggabungkan materinya dengan muatan potensi lokal Jepara. Terlebih Kurikulum 2013 dikembangkan dengan pembelajaran berbasis teks. Kesempatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh guru dalam menginternalisasi potensi lokal Jepara dalam pembelajaran. Teks yang dipelajari dapat dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di Jepara.

Discovery Learning, Mengamati dan Merasa Memiliki
            Pembelajaran masa kini senantiasa menuntut peserta didik untuk mengamati, merasakan, dan mengalami. Jadi, wawasan dan pengetahuan yang diterima oleh peserta didik tidak berhenti pada bentuk konseptual di pikiran mereka saja. Tetapi mereka dapat melakukan discovery untuk menemukan referensi-referensi dari konsep yang mereka pelajari. Oleh sebab itu, study tour dan pembelajaran di luar kelas yang mampu menunjang pengetahuan peserta didik menjadi sangat relevan dengan corak pendidikan masa kini. Kaitannya dengan potensi daerah Jepara, pendidikan usia dini di Jepara kini telah banyak yang menyadari pentingnya mengenalkan potensi daerah pada anak-anak usia dini. Banyak PAUD maupun TK yang mengajak peserta didiknya untuk berkunjung ke pengrajin tenun Troso, sentra ukiran Jepara, dan potensi lainnya seperti perikanan serta pariwisata. Dengan mengajak peserta didik ke tempat-tempat potensial yang dimiliki oleh Jepara tersebut, peserta didik akan merasa memiliki dan senantiasa berhasrat untuk menjaga serta melestarikannya.

Tantangan dalam Mengembangkan Pendidikan Berbasis Potensi Jepara
            Sebagian masyarakat telah sadar akan beruntungnya memiliki potensi yang begitu besar di Jepara. Meskipun tidak sedikit pula yang enggan menyadari keberuntungan tersebut. Termasuk Pemerintah Kabupaten Jepara yang tidak secara aktif mengawal dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh kabupaten Jepara tersebut. Di satu sisi, guru-guru sebagai penghela napas pendidikan mencoba dan berjuang mengangkat potensi lokal yang ada di Jepara. Namun di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Jepara juga tidak mengembangkan potensi tersebut secara nyata. Seharusnya sektor pendidikan menjadi amat strategis jika digunakan untuk mengonservasi potensi lokal Jepara. Akan tetapi, kesadaran mengembangkan hal tersebut belum sepenuhnya tampak dari Pemerintah Kabupaten Jepara.
            Selain itu, sekolah tinggi yang terkait dengan potensi lokal Jepara juga sangat minim. Hanya ada satu sekolah tinggi desain di Jepara. Padahal, untuk mengembangkan potensi daerah, terutama budaya perlu sekolah-sekolah tinggi yang mencetak para sarjana di bidangnya. Demikian pula dengan potensi pariwisata dan perikanan, tidak ada sekolah tinggi di Jepara yang bergerak di bidang itu. Hal ini menjadi tantangan secara langsung bagi Pemerintah Kabupaten Jepara, khususnya Dinas Pendidikan. Meskipun, semua masyarakat juga memiliki tanggung jawab moral yang sama-sama besar dalam upaya melestarikan potensi lokal Jepara melalui sektor apapun, khususnya pendidikan.

*)  Penulis adalah mahasiswa Program Studi Bahasa Indonesia Kelas Khusus B Pascasarjana Unnes.

DAFTAR PUSTAKA
Wibowo. 2014. Membangun Ketahanan Sistem Pendidikan Berbasis Potensi Lokal di Daerah Otonom. Semarang. Makalah.