Eko
Widianto*
0202514048
Ilmu sastra menjadi kajian yang cukup kontroversial
di sekolah. Mengapa kontroversial? Sebab sebagian mengaggap bahwa sastra itu
menarik untuk didalami. Sementara sebagian menganggap bahwa sastra tidak cukup
penting sebagai bekal kehidupan dan masa depan. Siswa cenderung terbagi ke
dalam dua kelompok tersebut. Bahkan, di sekolah saya mengajar, kelompok yang
menganggap bahwa sastra itu kurang menarik untuk dikaji lebih banyak dari pada
pecinta sastra. Ada beberapa penyebab itu terjadi. Mulai dari guru bahasa
Indonesia sebagai penginspirasi kesusastraan, sampai dengan hasrat diri siswa
yang memang belum termunculkan.
Penyebab pertama mengapa sastra kurang memiliki
geliat di sekolah bernuansa pesantren muncul dari guru sebagai inspirator,
sekaligus motivator yang memiliki kewajiban moral dalam menyiapkan
sastrawan-sastrawan masa depan Indonesia. Guru bahasa Indonesia yang seharusnya
turut menularkan semangat bersastra, justru masih belum memiliki semangat dari
dalam dirinya sendiri. Guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut masih berfokus
pada pembelajaran bahasa saja. Dengan demikian, pembelajaran sastra di kelas
memiliki porsi yang tidak lebih besar dari pada pembelajaran bahasa. Di samping
itu, pengalaman bersastra guru juga akan memengaruhi nuansa pembelajaran bahasa
dan sastra di kelas. Semakin banyak pengalaman sastra yang dimiliki oleh guru,
semakin hangat dan hidup pula nuansa sastra dalam pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia. Namun, semakin minim pengalaman yang dimiliki oleh guru dalam
bersastra, semakin sedikit pula efek cinta sastra yang muncul dalam
pembelajaran di kelas.
Selain lebih banyak berfokus pada pembelajaran
bahasa dan kurangnya pengalaman guru dalam bersastra, guru juga tidak banyak
memberikan motivasi dan pemahaman bahwa prospek sastra sangat baik untuk masa
depan. Pola pikir yang menganggap bahwa sastra itu kolot, kotor, urakan, gondrong, perokok, peminum,
brutal, dan lain sebagainya, masih selalu melintas di dalam pikiran
orang-orang. Termasuk guru yang sadar ataupun tidak, masih menyangsikan bahwa
sastra punya masa depan. Bagi banyak orang, sastrawan tidak memiliki kemapanan di
masa depan. Prospek hidup sastrawan tidak akan jelas. Dengan kata yang
sederhana, “sastrawan tidak akan bisa kaya!”. Padahal, jika kita mau meng-expose orang-orang yang sukses besar di
dunia sastra, bukan tidak mungkin siswa di sekolah akan sangat terinspirasi dan
termotivasi untuk mendalami bidang ini. Dunia sastra memiliki prospek yang
sangat baik jika dikaitkan dengan ekonomi kreatif. Siswa adalah penerus Andrea
Hirata, Dewi Lestari, Ayu Utami, Donny Dhirgantoro, Raditya Dika, Ahmad Fuadi,
bahkan sekelas sastrawan adiluhung Pramoedya Ananta Toer dari Blora.
Tokoh-tokoh itu memiliki hidup yang mapan dalam ekonomi dan terkenal di
masyarakat dunia.
Sekolah yang mewajibkan siswa tinggal di pesantren
(asrama) memiliki banyak sekali kegiatan ekstra di luar kegiatan pembelajaran.
Kegiatan tersebut disesuaikan dengan nuansa sekolah. Sekolah yang memiliki
pesantren sebagai tempat tinggal siswanya, akan banyak memprogramkan kegiatan
mengaji kitab-kitab salaf dan ilmu agama. Sementara kegiatan ekstrakurikuler
lain yang melatih soft skill siswa
tidak memiliki porsi yang lebih banyak. Hal ini kemudian berdampak pada geliat
sastra di sekolah. Kesempatan siswa merasakan pengalaman bersastra akan sangat
sedikit. Padahal, belajar sastra tidak hanya berhenti pada imajinasi dan
pikiran. Belajar sastra, justru belajar beraksi, belajar mengolah rasa menjadi
tindakan yang mengekspresikan perasaan itu. Kegiatan ini membutuhkan waktu dan
kesempatan yang luas.
Beberapa penyebab tersebut, kemudian memiliki dampak
yang berbanding lurus terhadap minat
bersastra siswa. Siswa tidak mendapatkan semangat, motivasi, sekaligus
inspirasi dari guru dalam mencintai sastra. Selain itu, siswa juga tidak pernah
berpikir lebih jauh mengenai prospek sastra kedepan. Siswa cenderung meng-amini
pola pikir yang lama terkungkung bahwa sastra tidak akan membawa masa depan
yang lebih baik. Dengan demikian, simpulan dari setiap pikiran siswa adalah “sastra
tidak menarik dan tidak penting!”. Padahal, tentu secara teoretis kita tahu
bahwa Horrace mengatakan bahwa sastra itu Dulce
et utille yang berarti indah dan berguna.
Kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren juga
membuat energi siswa cukup terkuras. Kegiatan ekstra (dalam hal ini selain
sastra) yang cukup padat membuat ruang gerak siswa bersastra semakin terhimpit.
Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menciptakan pengalaman, minimal berlatih
vokal dan membaca puisi di luar kegiatan pembelajaran. Selain itu, keterampilan
menulis siswa yang masih dalam kategori rendah juga semakin menenggelamkan
kesempatan mengekspresikan perasaan mereka ke dalam bentuk karya sastra.
Padahal, jika mereka dibimbing dan diberi semangat tinggi, kesempatan menjadikan
mereka sastrawan masa depan sangat terbuka lebar.
Itulah beberapa problematika pembelajaran sastra di
sekolah berbasis pondok pesantren. Pembelajaran sastra tidak banyak diberikan
ruang gerak untuk berkembang. Bahkan, sekadar bernapas pun tidak ada ruang.
Beberapa permasalahan tersebut seharusnya menjadi introspeksi setiap orang yang
bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Khususnya mereka yang secara
profesional memiliki disiplin ilmu pendidikan bahasa dan sastra. Sebab, perlu
ada tindakan nyata untuk menjaga kesusastraan Indonesia agar tetap berada pada
jalur eksistensinya.
Harapan itu tentu muncul dari pembelajaran teori
sastra di perguruan tinggi. Secara khusus, tentu perguruan tinggi yang mencetak
sarjana maupun magister kependidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sebab,
lulusan dari perguruan tinggi itulah yang secara memiliki tanggung jawab untuk
menjaga kesusastraan Indonesia tetap eksis. Oleh sebab itu, ada beberapa hal
yang selalu menjadi harapan dalam kajian teori sastra dalam perkuliahan di perguruan
tinggi. Harapan-harapan tersebut secara eksplisit adalah sebagai berikut.
Pertama, perkuliahan teori sastra seharusnya tidak
berhenti pada pembahasan teori-teori kesusastraan. Akan tetapi, teori-teori
tersebut dikaitkan dengan fakta empiris yang terjadi di lapangan. Perkuliahan
tersebut harus mampu merumuskan jawaban atas masalah-masalah yang terjadi di
lapangan. Baik pergolakan sastra di kalangan sastrawan, maupun eksistensi
sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian, pengkajian teori-teori sastra di perkuliahan
dapat berguna secara langsung untuk eksistensi kesusastraan Indonesia.
Kedua, perkuliahan teori sastra dapat memberikan
inspirasi besar bagi mahasiswa. Dengan inspirasi itu, mahasiswa akan menularkan
semangat bersastra di lingkungannya. Terutama ketika sebagian mahasiswa kembali
ke dunia pendidikan. Mereka tidak buta dengan kajian sastra sebagai ilmu. Jadi,
tidak hanya pengetahuan sastra sebagai karya saja yang mereka miliki, tetapi
mereka juga tahu bahwa sastra dapat dikaji sebagai ilmu yang meliputi teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Demikian permasalahan sastra yang muncul di lapangan
dan relevansinya dengan perkuliahan teori sastra di perguruan tinggi. Dua hal
tersebut serupa sisi mata uang, menyatu tapi tidak berada pada posisi yang
sama. Akan tetapi, kedua hal tersebut saling berhubungan dan membutuhkan.
Dengan belajar teori sastra, mahasiswa yang akan terjun ke dunia pendidikan
menjadi lebih siap untuk menularkan semangat bersastra. Minimal, mereka tahu
dua sisi sastra baik sebagai disiplin ilmu, maupun berupa karya yang memiliki
keindahan.
*)
Penulis adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X SMK Roudlotul
Mubtadiin Balekambang Jepara, sekaligus mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana Unnes tahun 2014.