Thursday, October 16, 2014

GELIAT SASTRA DI SEKOLAH BERBASIS PESANTREN DAN KEDUDUKAN STRATEGIS TEORI SASTRA DALAM MENJAGA EKSISTENSI KESUSASTRAAN INDONESIA


Eko Widianto*
0202514048

Ilmu sastra menjadi kajian yang cukup kontroversial di sekolah. Mengapa kontroversial? Sebab sebagian mengaggap bahwa sastra itu menarik untuk didalami. Sementara sebagian menganggap bahwa sastra tidak cukup penting sebagai bekal kehidupan dan masa depan. Siswa cenderung terbagi ke dalam dua kelompok tersebut. Bahkan, di sekolah saya mengajar, kelompok yang menganggap bahwa sastra itu kurang menarik untuk dikaji lebih banyak dari pada pecinta sastra. Ada beberapa penyebab itu terjadi. Mulai dari guru bahasa Indonesia sebagai penginspirasi kesusastraan, sampai dengan hasrat diri siswa yang memang belum termunculkan.
Penyebab pertama mengapa sastra kurang memiliki geliat di sekolah bernuansa pesantren muncul dari guru sebagai inspirator, sekaligus motivator yang memiliki kewajiban moral dalam menyiapkan sastrawan-sastrawan masa depan Indonesia. Guru bahasa Indonesia yang seharusnya turut menularkan semangat bersastra, justru masih belum memiliki semangat dari dalam dirinya sendiri. Guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut masih berfokus pada pembelajaran bahasa saja. Dengan demikian, pembelajaran sastra di kelas memiliki porsi yang tidak lebih besar dari pada pembelajaran bahasa. Di samping itu, pengalaman bersastra guru juga akan memengaruhi nuansa pembelajaran bahasa dan sastra di kelas. Semakin banyak pengalaman sastra yang dimiliki oleh guru, semakin hangat dan hidup pula nuansa sastra dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Namun, semakin minim pengalaman yang dimiliki oleh guru dalam bersastra, semakin sedikit pula efek cinta sastra yang muncul dalam pembelajaran di kelas.
Selain lebih banyak berfokus pada pembelajaran bahasa dan kurangnya pengalaman guru dalam bersastra, guru juga tidak banyak memberikan motivasi dan pemahaman bahwa prospek sastra sangat baik untuk masa depan. Pola pikir yang menganggap bahwa sastra itu kolot, kotor, urakan, gondrong, perokok, peminum, brutal, dan lain sebagainya, masih selalu melintas di dalam pikiran orang-orang. Termasuk guru yang sadar ataupun tidak, masih menyangsikan bahwa sastra punya masa depan. Bagi banyak orang, sastrawan tidak memiliki kemapanan di masa depan. Prospek hidup sastrawan tidak akan jelas. Dengan kata yang sederhana, “sastrawan tidak akan bisa kaya!”. Padahal, jika kita mau meng-expose orang-orang yang sukses besar di dunia sastra, bukan tidak mungkin siswa di sekolah akan sangat terinspirasi dan termotivasi untuk mendalami bidang ini. Dunia sastra memiliki prospek yang sangat baik jika dikaitkan dengan ekonomi kreatif. Siswa adalah penerus Andrea Hirata, Dewi Lestari, Ayu Utami, Donny Dhirgantoro, Raditya Dika, Ahmad Fuadi, bahkan sekelas sastrawan adiluhung Pramoedya Ananta Toer dari Blora. Tokoh-tokoh itu memiliki hidup yang mapan dalam ekonomi dan terkenal di masyarakat dunia.
Sekolah yang mewajibkan siswa tinggal di pesantren (asrama) memiliki banyak sekali kegiatan ekstra di luar kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut disesuaikan dengan nuansa sekolah. Sekolah yang memiliki pesantren sebagai tempat tinggal siswanya, akan banyak memprogramkan kegiatan mengaji kitab-kitab salaf dan ilmu agama. Sementara kegiatan ekstrakurikuler lain yang melatih soft skill siswa tidak memiliki porsi yang lebih banyak. Hal ini kemudian berdampak pada geliat sastra di sekolah. Kesempatan siswa merasakan pengalaman bersastra akan sangat sedikit. Padahal, belajar sastra tidak hanya berhenti pada imajinasi dan pikiran. Belajar sastra, justru belajar beraksi, belajar mengolah rasa menjadi tindakan yang mengekspresikan perasaan itu. Kegiatan ini membutuhkan waktu dan kesempatan yang luas.
Beberapa penyebab tersebut, kemudian memiliki dampak yang berbanding lurus terhadap  minat bersastra siswa. Siswa tidak mendapatkan semangat, motivasi, sekaligus inspirasi dari guru dalam mencintai sastra. Selain itu, siswa juga tidak pernah berpikir lebih jauh mengenai prospek sastra kedepan. Siswa cenderung meng-amini pola pikir yang lama terkungkung bahwa sastra tidak akan membawa masa depan yang lebih baik. Dengan demikian, simpulan dari setiap pikiran siswa adalah “sastra tidak menarik dan tidak penting!”. Padahal, tentu secara teoretis kita tahu bahwa Horrace mengatakan bahwa sastra itu Dulce et utille yang berarti indah dan berguna.
Kegiatan ekstrakurikuler yang ada di pesantren juga membuat energi siswa cukup terkuras. Kegiatan ekstra (dalam hal ini selain sastra) yang cukup padat membuat ruang gerak siswa bersastra semakin terhimpit. Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menciptakan pengalaman, minimal berlatih vokal dan membaca puisi di luar kegiatan pembelajaran. Selain itu, keterampilan menulis siswa yang masih dalam kategori rendah juga semakin menenggelamkan kesempatan mengekspresikan perasaan mereka ke dalam bentuk karya sastra. Padahal, jika mereka dibimbing dan diberi semangat tinggi, kesempatan menjadikan mereka sastrawan masa depan sangat terbuka lebar.
Itulah beberapa problematika pembelajaran sastra di sekolah berbasis pondok pesantren. Pembelajaran sastra tidak banyak diberikan ruang gerak untuk berkembang. Bahkan, sekadar bernapas pun tidak ada ruang. Beberapa permasalahan tersebut seharusnya menjadi introspeksi setiap orang yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. Khususnya mereka yang secara profesional memiliki disiplin ilmu pendidikan bahasa dan sastra. Sebab, perlu ada tindakan nyata untuk menjaga kesusastraan Indonesia agar tetap berada pada jalur eksistensinya.
Harapan itu tentu muncul dari pembelajaran teori sastra di perguruan tinggi. Secara khusus, tentu perguruan tinggi yang mencetak sarjana maupun magister kependidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sebab, lulusan dari perguruan tinggi itulah yang secara memiliki tanggung jawab untuk menjaga kesusastraan Indonesia tetap eksis. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang selalu menjadi harapan dalam kajian teori sastra dalam perkuliahan di perguruan tinggi. Harapan-harapan tersebut secara eksplisit adalah sebagai berikut.
Pertama, perkuliahan teori sastra seharusnya tidak berhenti pada pembahasan teori-teori kesusastraan. Akan tetapi, teori-teori tersebut dikaitkan dengan fakta empiris yang terjadi di lapangan. Perkuliahan tersebut harus mampu merumuskan jawaban atas masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Baik pergolakan sastra di kalangan sastrawan, maupun eksistensi sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian, pengkajian teori-teori sastra di perkuliahan dapat berguna secara langsung untuk eksistensi kesusastraan Indonesia.
Kedua, perkuliahan teori sastra dapat memberikan inspirasi besar bagi mahasiswa. Dengan inspirasi itu, mahasiswa akan menularkan semangat bersastra di lingkungannya. Terutama ketika sebagian mahasiswa kembali ke dunia pendidikan. Mereka tidak buta dengan kajian sastra sebagai ilmu. Jadi, tidak hanya pengetahuan sastra sebagai karya saja yang mereka miliki, tetapi mereka juga tahu bahwa sastra dapat dikaji sebagai ilmu yang meliputi teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Demikian permasalahan sastra yang muncul di lapangan dan relevansinya dengan perkuliahan teori sastra di perguruan tinggi. Dua hal tersebut serupa sisi mata uang, menyatu tapi tidak berada pada posisi yang sama. Akan tetapi, kedua hal tersebut saling berhubungan dan membutuhkan. Dengan belajar teori sastra, mahasiswa yang akan terjun ke dunia pendidikan menjadi lebih siap untuk menularkan semangat bersastra. Minimal, mereka tahu dua sisi sastra baik sebagai disiplin ilmu, maupun berupa karya yang memiliki keindahan.

*) Penulis adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X SMK Roudlotul Mubtadiin Balekambang Jepara, sekaligus mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Unnes tahun 2014.

No comments:

Post a Comment