“Maula!
Maula! Ke mana saja kamu? Mana rokok Bapak?”
“Sebentar,
Pak. Maula mau pipis dulu. Sudah kebelet.”
Aku
sambil lari ke kamar mandi. Bapak di ruang tamu kongkow dan bersanding dengan
segelas kopi hitam. Kopi luak yang saya buatkan sebelum aku ke warung
membelikan jarum filter kesukaan bapak. Sesaji wajib buat pagi hari bapak
sebelum berangkat ke Sekolah.
Bapak
adalah seorang tukang kebun sekolah. Hari ini sebenarnya libur sekolah. Namun
bapak harus tetap berangkat. Bapak harus mengecat sekolah karena besok ada
akreditasi di sekolah tempat bapak bekerja. Jadi sebelum bapak pergi bekerja,
bapak memintaku membelikan rokok sebagai bekal kerja sehariannya.
“Kamu
bersihkan rumah, ya. Bapak mungkin pulang sore.”
“Iya,
Pak. Bapak mau Maula masakkan apa? Nanti Ibu pulang, nggak?”
“Kamu
beli saja ke warung. Nanti bapak makan di sekolah saja. Oh ya, sore harinya
nanti bapak belikan ayam panggang kesukaanmu. Tadi ibu telpon kalau hari ini
tidak pulang.”
“Yaaaah.
Ibu sibuk ya, Pak?”
“Sudah,
kamu cepet mandi sana. Bapak pergi dulu, ya. Hati-hati di rumah.”
Aku
mencium tangan bapak. Bapak kemudian meraih topi warna abu-abu yang terletak di
meja. Bapak memakai topi itu dan bergegas ke motor matic yang baru saja lunas kredit. Tiba-tiba, aku pengen pipis
lagi.
Sebelum
kembali ke kamar mandi, aku mengambil handuk dan perlengkapan mandiku. Aku
bergegas ke kamar mandi. Di rumah hanya aku seorang diri. Aku anak tunggal.
Sejak kecil, aku biasa hidup mandiri. Kedua orang tuaku sibuk bekerja. Bapak
yang hanya lulusan sekolah menengah pertama, bekerja sebagai tukang kebun di SD
kecamatan. Sementara Ibu, alhamdulillah menjadi guru di SMP. Namun Ibu mengajar
di sekolah yang cukup jauh jaraknya. Sekitar enam kilo dari rumah. Oleh karena
itu, Ibu lebih memilih menginap di rumah Mbah karena dekat dari sekolah.
Paling-paling,
Ibu pulang dua hari seminggu. Hanya sebatas mencucikan bajuku dan baju Bapak.
Kalau ada waktu luang, Ibu menanyakan PR-ku. Meskipun ibu tidak selalu
membantuku dalam membuat PR ataupun tugas-tugas sekolah. Ibu lebih banyak
memintaku untuk membantunya menulis nama-nama siswanya. Atau, memberikan tanda centang
dan silang di presensi kelasnya.
Aku
membuka celanaku sembari mengisi bak mandi. Segera aku jongkok karena aku
pengen pipis lagi. Setelah terasa lega, aku kembali berdiri. Meraih gayung dan
membersihkan bekas buang air kecilku. Kemudian kubuka baju dan pakaian dalamku.
Tiba-tiba aku ingat kalau sekarang aku tengah di rumah seorang diri. Aku
kembali memakai pakaian dalamku. Ada rasa takut yang diam-diam hinggap di
pikiraku. Was-was, kalau saja ada orang yang mengintipku mandi. Air dingin dan
segar mengalir membasahi tubuhku.
“Aduh!”
.......................
“Ingat,
ya anak-anak. Untuk mengerjakan soal dengan model kurung, kerjakan dulu angka
yang ada di dalam kurung. Kemudian bagian berikutnya. Bisa?”
“Bu,
minta izin ke belakang.” Aku mendekati bu Sofi yang berdiri di dekat papan
tulis.
“Ya,
silakan, Maula.”
Aku
bergegas ke kamar mandi sekolah. Di lapangan, ada anak-anak kelas lima yang
sedang berolah raga. Mereka sedang asyik bermain sepak bola. Satu bola yang
ditendang ke sana kemari juga menjadi rebutan sekian anak-anak itu. Ada satu
anak yang berteriak ke arahku.
“Maula,
ditunggu Andre.”
“Hahahahahahahahahha.”
Beberapa anak lainnya mengikutinya dengan tawa.
Aku
tidak peduli. Andre adalah kakak kelasku yang sering disebut-sebut sebagai
pacarku. Padahal aku tidak pernah memedulikannya. Sambil mendiamkan ocehan dan
tawa mereka, aku percepat langkah ke arah kamar mandi. Aku sudah tidak tahan. Tapi
sesampainya di kamar mandi, ternyata ada seseorang di dalamnya.
Aku
mengetuk pintu itu agar seseorang di dalamnya segera keluar. Sambil kuteriaki
kalau aku sudah tidak tahan. Maklum, di SD-ku hanya memiliki satu kamar mandi
untuk siswa. Oleh sebab itu jika ada beberapa siswa yang hendak buang air harus
mengantri terlebih dahulu. Setelah menunggu beberapa detik, pintu itu terbuka.
Andre.
“Maula?”
Dia
tersenyum kepadaku. Cakep. Tapi aku tidak pedulikan itu. Aku langsung masuk ke
dalam kamar mandi. Segera kukunci pintunya. Tapi, kunci kamar mandi di
sekolahku tidak berfungsi. Sudahlah. Akhirnya, kuberi ember di balik pintu agar
tidak mudah terbuka. Seketika aku jongkok dan kubuka sedikit celana dalamku.
“Maula.
Aku tunggu di luar, biar tidak ada anak-anak yang ngintip kamu.”
“Ada
yang ngintip?” Dalam hatiku. Jantungku berhenti.
.......................
Bapak
memandikanku sore ini. Bapak bilang, kalau aku mandi sendiri pasti masih kotor.
Hari ini ibu tidak pulang lagi. Ibu tidur di rumah mbah karena besok ada
upacara. Jadi, Ibu tidak boleh terlambat. Bapak membukakan pakaianku
cepat-cepat. Sambil membuka pakaianku, bapak menciumiku.
“Anak
bapak makin cantik ya. Tapi kok kecut.” Aku tertawa.
“Aduh
bapak. Geli. Hehehe.”
“Mana
yang geli? Icik icik icik. Anak bapak yang cantik. Nurut ya jadi anak cewek.”
“Bapak.
Geli. Hehehe. Bapak, Maula pengen pipis.”
“Mau
pipis? He.em? Pipisa sayang?”
“Bapak,
geli. Maula nggak bisa pipis. Jangan dipegang.”
“Lho
justru kalau geli malah langsung pipis dong. Sini-sini, pipis.”
“Ah
Maula ngompol. Bapak, geli, Pak. Udah hehehehe.”
“Tuh
kan pipisnya banyak. Gantian bapak yang pipis ya. Maula gantian bukain pakaian
Bapak dong. Kan tadi Bapak bukaian pakaian Maula.”
“Nggak
bisa. Hehehe. Ini aja yah.”
“Iya,
ayo bukain celana bapak. Nanti gantian deh biar bapak nggak bisa pipis.”
“Beneran
yah. Ayoo gantian bapak nggak bisa pipis. Geli yah?”
“Ah
geli sayang. Aduh. Bapak pengen pipis, tapi geli.”
“Rasain!
Tadi Maula juga pengen pipis nggak bisa. Gantian biar bapak geli. Hahahaha.”
“Sayang,
tuh loh makin besar. Soalnya pipisnya nggak bisa keluar. Aduh geli sayang.”
“Rasain.
Burungnya bapak makin besar. Weeekk bapak nggak bisa pipis weeekkk!”
“Sayang,
Ma ... uu...ah“
“Yah
bapak pipis. Kok kentel Pak?”
Bapak
kemudian memelukku erat-erat. Badan bapak hangat. Aku diam di dekapan Bapak.
Bapak baru saja pipis. Tapi air pipis bapak berbeda dengan air pipisku. Aku
coba raba-raba bagian tubuh bapak yang lain agar geli. Tapi bapak sudah tidak
geli. Ah tidak seru. Kami kemudian mandi bersama. Bapak tidak jadi
memandikanku. Ternyata, aku disuruh pakai sabun sendiri. Bapak curang.
Malam
harinya, seusai makan malam, bapak menemaniku mengerjakan PR. Bapak mengajakku
mengerjakan PR di ruang keluarga. Bapak bilang, kami bisa mengerjakan PR sambil
nonton VCD yang baru bapak beli. Bapak kemudian menghidupkan VCD player. Lalu
memasukkan CD bari itu.
“Film
apa, pak? India ya?”
“Bukan.
Itu video olah raga. Biar kita sehat, kita harus ikut olah raga itu. Maula juga
harus olah raga itu biar cepet gede. Biar cepat jadi model.”
“Wah,
jadi model? Waaah mau mau mau .. Maula mau jadi artis. Maula kan cantik.”
“Iya,
coba lihat. Mbak-mbak di film itu cantik-cantik, kan? Ayo olah raga. Bapak
temenin yah. Nanti bapak jadi mas-mas di sana biar Maula ada teman olah
raganya.”
“Iya,
kok olah raganya buka baju, Pak?”
“Kan
biar keringatnya keluar banyak.”
Aku
kemudian mencium Bapak. Aku gigit-gigit bibir bapak. Bapak juga menarik-tarik
lidahku dengan bibir bapak. Aku ikuti suara di video itu. “ah ah ah em em em”.
Itu semacam hitungan senam satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan. Kata
bapak sambil ngos-ngosan. Badan bapak hangat. Aku suka.
“Bapak
geli.”
Bapak
memainkan dua titik coklat di dadaku. Rasanya sedikit keras. Meskipun tidak ada
air dan bentuknya tidak segemuk punya Ibu. Bapak membuatku geli. Tapi aku lihat
bapak ikut gerakan olah raga itu. Jadi, aku juga ikuti model perempuannya. Aku
memainkan rambut bapak persis dengan yang dilakukan model di video itu.
“Sih
sih yes gat no!”
Bapak
makin ke bawah. Bapak mulai menciumi merutku, pusarku, hingga tempat pipisku.
Bapak ternyata masih ikut gerakan olah raga itu. Olah raga itu agak
menjijikkan. Tapi sepertinya memang itu yang membuat perempuan dalam video itu
makin cantik. Aku ikut tersenyum dan menghitung “sih sih yes gat no” seperti
yang dilakukan perempuan itu.
“Bapak,
Maula pengen pipis.”
Bapak
hanya diam, karena mas-mas di video itu juga diam. Aku yang salah. Seharusnya
aku tidak bilang kalau aku pengen pipis. Perempuan di video itu juga mungkin
sedang menahan pipis. Tapi dia tidak bilang. Dia hanya menggoyang-goyangkan
pinggulnya. Selanjutnya, mas-mas itu memasukkan jari tengahnya di tempat pipis
perempuan itu. Aku merasa perih.
“Bapak,
sa.....”
“Ssssstttt!”
Olah
raga itu tak kunjung selesai. Aku sudah capek. Tempat kencingku sudah perih.
Dari pengen kencing, jadi sakit sekali. Jari tengah bapak masih
bergoyang-goyang di dalamnya. Dalam video, perempuan itu berteriak makin
kencang. Tapi aku tidak bisa menirukan hitungannya. Ternyata di olah raga ini
tidak ada hitungan satu dua tiga. Hitungannya bermacam-macam.
“Ibu..
sakit.”
Bapak
langsung meraih bibirku dengan bibirnya. Bau tembakau. Bapak memasukkan
lidahnya ke dalam mulutku. Aku pengen muntah. Tapi rasa perih lebih mengalihkan
perhatianku ketimbang ini. Bapak, hentikan ini. Maula lelah dengan olah raga
ini. Tadi kita lupa pemanasan. Mungkin bapak lupa melihat sesi pemanasan di
video itu.
“Bapak,
itu sudah ganti gerakannya.”
Bapak
sadar. Sebelum mengeluarkan jarinya, bapak mempercepat gerakannya. Rasanya
nyeri sekali. Kemudian bapak meniru gerakan mas-mas itu. Aku ditidurkan di
lantai. Lalu bapak menaruh burungnya di hadapanku. Aku langsung tahu tugasku.
Aku ikuti perempuan itu memegang dan menggoyang-goyangkan burung. Burung bapak
tidak sebesar burung mas-mas itu. Tapi burung bapak banyak bulunya.
Perempuan
itu mengulum burung yang dipegangnya, seolah eskrim. Aku mengikutinya. Tapi
rasanya tidak enak. Aku mau muntah. Bapak kemudian memintaku melepaskan
burungnya. Mungkin bapak merasa nyeri seperti aku tadi. Ah, lagi-lagi bapak
curang. Tadi kenapa aku tidak dilepaskan?
“Ini
gerakan olah raga terakhir. Namanya, burung masuk kandang.”
Bapak
mengikuti mas-mas itu memasukkan burungnya ke tempat pipisku. Tapi tidak
kunjung berhasil. Padahal, mas-mas dalam video itu langsung berhasil dan mereka
berdua bergoyang asyik. “Ayo, pak. Tapi sakit. pelan-pelan.” Bapak tetap
mencoba. Bapak membuka lebar-lebar kakiku. Aku main sakit. Ternyata dari tadi
aku pipis darah. Aku baru menyadarinya. Aku takut dan menangis.
“Bapak,
aku pipis darah.”
Bapak
tidak peduli. Aku makin sakit dan menangis sejadi-jadinya. Tapi bapak tetap
tidak peduli. Bapak tetap memasukkan burungnya meskipun sang kandang tidak
muat. Aku merasakan kepala burung bapak mulai masuk. Tapi tidak seutuhnya
burung itu masuk kandang. Aku mencoba melawan, tapi tidak mampu. Tiba-tiba,
burung bapak muntah. Aku merasakan perih terkena muntahan burung bapak yang
hangat itu. Bapak pipis di tempat pipisku. Burung bapak seketika mengecil.
Bapak langsung tidur.
.....
“Maula, kamu
kenapa? Apa yang berdarah?”
“Jangan. Jangan
lagi. Aku capek olah raga, Pak. Aku capek olah raga tiap malam. Aku mau bikin
PR saja. Aku nggak mau jadi model.”
“Maula? Keluar.
Kamu kenapa, Nak?”
“Sakit, pak.
Perih. Tempat kencing maula berdarah terus saat olah raga. Maula nggak mau olah
raga lagi.”
“Maula, ini bu
sofi. Buka, nak. Kamu kenapa?”
“Maula. Maula. Maula.”
Aku
seketika sadar. Aku di dalam kamar mandi sedari tadi. Aku ditunggu banyak orang
di luar. Ada Andre, bu Sofi, bu Intan, bu Putri. Suara siapa lagi itu? Aku pipis
darah lagi. Aku mendengar pintu itu terpaksa didorong. Pintu itu terbuka saat
aku belum memakai celana dalamku dengan tepat.
“Jangan,
pak! Jangan!” Semuanya sunyi dan gelap.
07 Juni 2016
Indonesia
darurat kejahatan seksual
EW