Thursday, January 30, 2014

Psitacula Passerina, Tragulus Javanicus, dan Sekawanan Penerima Mandat Puncak Sambaliung

Psitacula Passerina, Tragulus Javanicus, dan Sekawanan Penerima Mandat Puncak Sambaliung

Psitacula Passerina, Si Nona Parkit melempar senyum pada jenderal Kancil di tengah dendang siang. Sedang Jenderal Kancil juga belum sempat mengenal sekawanan yang akan menjadi partner sehari-harinya nanti. Ada tujuh kawanan rupanya, namun Jenderal Kancil baru mengenal Nona Parkit. Itupun tidak akrab.
Sempat Jenderal Kancil salah langkah. Ia masuk ke dalam sekawanan lain. Sama, belum ia tahu satupun di dalamnya. Namun panglima utusan dewa mengingatkannya agar masuk ke dalam sekawanan yang ditunjuk. Jenderal kancil mengangguk dan menuruti.
Jenderal kancil menyapa lembut sekawanan dengan senyum khasnya. Menjabar satu persatu, kecuali Nona Parkit. Sebab ia tahu, nona parkit sudah mengenalnya. Ia juga menangkap rona senang di wajah nona parkit siang itu. Kala jenderal kancil masuk dalam sekawanan yang sama dengannya.
“ Akhirnya, dia masuk ke sekawanan ini juga.” Bisikan hati yang tersenyum Nona Parkit.
Pandangan Jenderal Kancil masih mengarah ke segala arah. Melihat sekawanan rimbanya yang juga menemukan kawanan baru di saat yang sama. Ada yang terlempar ke rimba Huluraya, ada juga yang terutus ke pesisir pantai Vandenhous. Menarik, Jenderal Kancil seorang diri diutus para dewa menuju altar tertinggi, taman sakura dan kebun stroberi yang terhampar luas, puncak Sambaliung.
“ Sambaliung akan segera diberangkatkan bersama kereta angin puting beliung. Segera bawa perbekalan menuju angin puting beliung. Perjalanan akan sangat jauh.”
Jenderal kancil, Nona Parkit, dan enam sekawanannya mendengarkan maklumat itu dengan saksama. Mereka segera mengambil perbekalan dan segera membawa ke angin puting beliung. Tapi tampaknya hanyalah perbekalan yang terbang menuju puncak Sambaliung dengan angin puting beliung. Sekawanan akan dibawa dengan kereta kencana di malam hari. Sebab masih ada agungan sesembahan bagi sekawanan di usai senjakala.
Sembari menunggu agungan sesembahan bagi sekawanan, sekawanan Sambaliung menunggu di rumah Rajadiraja. Jenderal Kancil dan sekawanan sempat saling bertukar sapa dan nama. Sembari menikmati istirahat sore hari di pantai Sirinayya, Jenderal Kancil mengingat sekawanannya satu persatu.
Tragulus Javanicus, adalah tipikal yang pandai mengingat. Ia cukup senang dengan segala keceriaan baru dengan sekawanannya. Cuma keakraban belum menjadi temali yang mengikat hati sekawanan. Jenderal Kancil tetap menguntai senyum di depan ombak sore hari. Sebab percikan seribu ombaklah yang akan menyatukan mereka semua. Semua akan sama-sama basah, jika masa mulai tiba.
Jenderal kancil sore itu tidak ditemani Si Nona Parkit. Entah di mana nona parkit kala mentari ingin pergi. Serasa sunyi Jenderal kancil dengan sekawanan yang baru ia kenal. Meskipun sore mengantarkannya pada manisnya senjakala di pantai Sirinayya. Pantai kebanggaan bangsa Butta Toa.
Butta Toa adalah negeri yang tersohor di kaki tanah Tanaka. Butta Toa menjadi tersohor sebab Rajadiraja Hajidullah merupakan raja yang arif dan bijaksana dalam memimpin negerinya. Oleh sebab itu, sekawanan diberi mandat untuk belajar sekaligus andil membangun Butta Toa. Termasuk Jenderal Kancil yang jauh-jauh diutus ke Butta Toa dari kerajaan Srimanggala.
Hingga kisah merambah malam usai senjakala menutup diri pada jagat raya. Agungan sesembahanpun begitu meriah di dekat genangan air jernih istana Rajadiraja. Malampun akan segera mengantarkan Jenderal Kancil dengan sekawanan menuju puncak Sambaliung. Puncak di mana Jenderal Kancil dengan sekawanan akan banyak belajar, menyatu dengan awan, dan menapakkan kaki di puncak tertinggi Butta Toa.
Kereta kencana telah siap gemerincingkan roda. Meliukkan pesona di lika-liku setapak menuju Puncak Sambaliung. Kanan kiri adalah hamparan kebun luas yang dihiasi taburan gemintang di atasnya. Duhai negeri yang indah nan permai. Srimanggala, negeri milik Jenderal Kancil, tak mungkin memiliki keindahan seelok itu. Maka tidak heran jika Jenderal Kancil tercengang sepanjang perjalanannya menuju persinggahan di puncak Sambaliung.
Tepat pada tengah malam sekawanan sampai di persinggahan Puncak Sambaliung. Hawa dingin menyambut Jenderal Kancil dengan sekawanan kala memijakkan kaki di tangga persinggahan. Dingin itu sedikit sirna saat pemilik persinggahan, pemangku adat, menguntai senyum pada sekawanan. Sehingga hangat itu merasuk menjadi energi unggunan api pada dingin malam hari.
Tiba-tiba Panda menggigil dingin di samping Jenderal Kancil dan sekawanan. “ Sepertinya aku tak akan mampu melawan dingin di puncak ini.” Ujar Panda dengan melipat tangannya.
“ Bertahanlah, kawan. Janganlah dingin ini kau lawan. Tapi nikmatilah, menyatulah dengan ini dingin. Hingga kau menjadi bagiannya. Hingga kau bersahabat dengannya. Janganlah kau jadikan dirimu musuh baginya.” Nasihat Pipit Hitam pada Beruang Madu.
“ Benar, kau pasti kuat, kawan. Kau Panda yang kuat menikmati dingin, bukan?” Tanya Kijang seraya memberi semangat.
“ Baik, saudara sekawanan. Aku akan berusaha sampai matahari esok menyapa. Demi kalian, akan kutaklukkan dingin ini malam. Tapi jika hingga esok pagi tubuh ini masih belum menghangatkan. Sepertinya puncak sambaliung bukanlah habitat yang tepat buatku. Tangkup tangan di dada pada sekawanan.” Pilu dalam gigil seorang Panda.
“ Aku saja mampu. Mana mungkin kau tak mampu, Panda?” Timpal Jenderal Kancil.
“ Sebab telah kumiliki cacat di bagian tubuh ini. Aku tak akan mampu berlama di tengah embun yang menyergap tulang sumsum, Jenderal Kancil. Tangkup tangan di dada.”
“ Berusahalah. Masih ada hari-hari esok. Ilmu menanti kita di ladang puncak Sambaliung.” Si Nona Parkit kembali memberi semangat.
“ Semoga. Semoga diri ini mampu.” Panda masih kedinginan dirundung pilu.


Eko W.
2014

No comments:

Post a Comment